G30S/PKI merupakan peristiwa yang sepertinya bakal terus diingat oleh masyarakat Indonesia. Peristiwa kelam ini menyisakan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Apalagi banyak hal yang masih abu-abu dan belum terbuka seutuhnya. Semua itu seperti sengaja ditutup-tutupi untuk “kebaikan” bersama.
Meskipun demikian, kita tidak sepatutnya melupakan sejarah. Apalagi generasi sekarang yang hidup jauh dari masa di mana peristiwa itu terjadi. Peristiwa ini pun dibalut dalam karya sastra berbentuk novel yang banyak beredar di masyarakat. Para penulis banyak menjadikan peristiwa ini sebagai latar ceritanya. Bahkan, hal-hal itu juga dikemas apik.
Baca Juga: Agar Hari Lebih Berwarna, Anda Bisa Melakukan Tips-Tips Ini di Pagi Hari
Nah, apa saja novelnya? Berikut adalah beberapa novel Indonesia yang memasukkan unsur peristiwa G30S/PKI.
-
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel trilogi yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini sangat melegenda, sehingga tidak mengherankan apabila novel ini sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Novel ini juga pernah diadopsi ke dalam film layar lebar yang berjudul “Sang Penari”. Novel Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang kisah cinta Srintil sang penari ronggeng dengan Rasus yang berprofesi sebagai tentara.
Novel ini mengangkat latar Dukuh Paruh. Desa kecil ini sedang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Hal ini berkaitan dengan dampak politik yang terjadi pada tahun 1960-an. Apalagi latar waktu yang digunakan dalam novel ini memang tahun di mana gejolak politik sedang terjadi di Indonesia termasuk di antaranya adalah G30S/PKI.
Baca Juga: Mengulik Fenomena Pencurian Kain Kafan di Konon untuk Pesugihan
-
Cantik Itu Luka
Cantik Itu Luka merupakan novel yang ditulis oleh Eka Kurniawan. Novel ini mengusung latar pemberontakan 1965. Novel ini mengisahkan tentang nasib anak-anak yang telah menjadi korban kutukan karma G30S/PKI. Seperti kita ketahui bersama bahwa keturunan dari orang yang diduga terlibat dalam peristiwa ini harus menerima banyak kerugian. Novel Cantik Itu Luka ditulis dengan riset yang matang sehingga mampu menarik banyak perhatian. Maka tidak mengherankan apabila novel ini memperoleh beberapa penghargaan bergengsi, salah satunya dalam Khatulistiwa Literary Award tahun 2003.
-
Pulang
Pulang merupakan novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori. Novel ini masih menjadi incaran para penikmat sastra dan terus dicetak ulang. Novel ini berkisah tentang empat mantan wartawan yang menjadi buronan karena peristiwa G30S/PKI. Novel ini juga membawa kisah ini hingga masa reformasi tahun 1998. Pada masa-masa itu, wartawan merupakan profesi yang cukup berbahaya, apalagi ketika membahas politik. Empat mantan wartawan itu tidak ingin hidupnya seperti kawan-kawannya yang dinyatakan hilang atau tewas. Mereka pun memutuskan memulai hidupnya di Paris, namun ternyata ada banyak hal yang dirindukan dari Indonesia.
-
Amba
Amba merupakan novel yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak. Novel ini sebelumnya telah diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul The Question Of Red. Pembacaan dan pemahan novel ini membutuhakan waktu dan energi yang cukup besar, karena kisahnya cenderung rumit dan kompleks. Novel ini mengangkat cinta, sejarah, dan politik yang berlatar pada peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Novel ini mengisahkan tentang jutaan orang yang dituduh sebagai komunis. Mereka dibantai habis-habisan dan Pulau Buru menjadi saksi peristiwa kejam itu. Novel Amba telah mendunia dan sang penulis mendapat kesempatan menjadi keynote speaker di festival buku terbesar di Jerman.
-
Gadis Kretek
Gadis Kretek merupakan novel yang ditulis oleh Ratih Kumala. Novel ini mengusung peristiwa G30S/PKI dengan gaya penyampaian yang ringan sehingga mudah dipahami. Novel ini bercerita tentang kisah cinta dari seorang gadis kretek yang diwarnai persaingan para pengusaha kretek. Pada masa pasca G30S/PKI, semua orang yang memiliki keterkaitan dengan PKI atau komunis akan ditangkap, dibuang, dan dibantai tanpa ampun. Aksi ini akan terjadi pada siapa saja. Mereka yang tidak mengetahui politik sekalipun bisa menjadi korban keganasan G30S/PKI. Novel Gadis Kretek pernah masuk dalam sepuluh besar penerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2012. (Sindy Lianawati/gg)