Oleh: Muhammad Nasruddin, Mahasiswa STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
”Perbedaan adalah fitrah. Dia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan yang universal.”
(KH Abdurrahman Wahid)
Nasihat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di atas saya kira cukup untuk menyikapi isu sosial-keberagaman di Indonesia. Secara antropologis, Indonesia memang serbamulti, baik suku, ras, budaya, maupun agama.
Menurut hasil survei BPS (2010) menunjukkan bahwa ada 1.340 suku bangsa di Indonesia. Jumlah yang cukup banyak tersebut tentu memberikan konsekuensi bagi beragamnya kebudayaan yang ada. Sementara itu, secara historis, kebudayaan Indonesia sering bersentuhan dengan kebudayaan asing sehingga menciptakan sebuah kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi ciri khas dari masyarakat Indonesia sendiri.
Sebagai negara multikultural, munculnya berbagai konflik adalah sebuah keniscayaan. Maraknya isu SARA menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Di sini Pancasila sebagai “Piagam Madinah” versi Nusantara memegang kendali yang cukup penting dalam menyikapi isu-isu keberagaman. Pancasila bukanlah opini dari salah seorang tokoh kemerdekaan semata, tapi merupakan untaian nilai yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia.
Pancasila adalah tradisi bangsa yang harus dilestarikan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Sejak dulu masyarakat Indonesia dikenal sebagai entitas yang religius, berkemanusiaan, suka gotong royong, mengedepankan musyawarah, dan berjiwa sosial. Bahkan, hingga saat ini pun nilai-nilai tersebut masih mengakar pada tradisi yang berkembang di masyarakat. Tradisi sekaten, grebeg suro, dan sedekah bumi adalah contoh kecil tradisi yang bermuatan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, melestarikan tradisi berarti menjaga kelestarian Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia berdamai dengan keberagaman. Memaknai perbedaan bukan sebagai penghalang, tapi sebagai potensi yang harus dioptimalkan. Perbedaan merupakan fitrah manusia yang tidak dapat dipungkiri. Justru dengan perbedaan akan membuat hidup lebih menarik. Karena itu, setiap masyarakat harus mengesampingkan sifat egonya. Sifat ingin menang sendiri dan merasa paling benar adalah penghambat terwujudnya kerukunan dalam masyarakat. Hal demikianlah yang kemudian memicu terjadinya radikalisasi dan intoleransi yang berujung pada disintegrasi suatu bangsa.
Di era percepatan teknologi ini, berlarut-larut dalam mempermasalahkan perbedaan adalah hal yang konyol. Ketika negara lain sedang berlomba-lomba dalam memajukan dunia perindustrian, masyarakat Indonesia masih meributkan permasalahan internalnya.
Alih-alih menjadi sumber daya yang potensial, keberagaman dianggap sebagai penghambat bagi kepentingan suatu kelompok tertentu. Untuk mewujudkan butir-butir Pancasila sila ketiga, berdamai dengan keberagaman mutlak diperlukan. Sikap toleransi, moderasi, keterbukaan, dan inklusif merupakan sikap yang perlu dipegang dalam menyikapi keberagaman demi terciptanya persatuan Indonesia.
Apalagi guna mendukung terwujudnya Sustainable Developmet Goals (SDGs) 2030 sekarang ini memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, tidak pandang bulu, suku, ras, maupun agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang tentu memiliki kelemahan dan kelebihan. Hal tersebut tergantung bagaimana cara kita dalam menyikapinya. Karena itu, saling melengkapi dengan berkolaborasi memegang peranan penting untuk menciptakan inovasi-inovasi yang berdampak pada NKRI.
Namun, kolaborasi tidak akan bisa terjalin jika masyarakat Indonesia masih memandang keberagaman sebagai problematika. Perbedaan adalah rahmat. Bahkan, sebuah perusahaan yang mengakomodasi keberagaman dan inklusi dalam kinerjanya dapat membuka potensi inovatif karyawan, lebih berkompetitif, adaptif, serta mampu memperluas pangsa pasar (hrnote.asia, 2021).
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kemajuan suatu perusahaan atau bisnis tergantung bagaimana pemimpin perusahaan memaksimalkan potensi keberagaman yang ada. Kondisi tersebut tentu dapat direlevansikan dalam kehidupan bernegara.
Diskursus tentang keberagaman memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Di lain sisi dapat memantik terjadinya disintegrasi, tapi juga berfungsi sebagai modal terbesar untuk memperkuat integrasi. Karena itu, literasi keberagaman perlu ditekankan kembali supaya tidak terjadi miskonsepsi bagi generasi muda dalam memahami fenomena tersebut.
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan ruh bangsa Indonesia yang harus dijaga. Begitu pula Pancasila sebagai way of life harus dihayati kembali makna-makna yang terkandung di dalamnya. Yang demikian tersebut penting karena kita satu, kita setara, satu tujuan: Indonesia.