OLeh: Amalia Kartika, member Garuda Literasi
Tugujatim.id – Aku menatap bangunan pencakar langit di depan rumah. Suasananya tampak sangat berbeda dari yang terakhir kali kulihat.
Aku berjalan menuju keran air di samping rumah untuk mencuci waja. “Huaaa!” teriakku terkejut melihat penampakan di depanku. “Hei! Sejak kapan air berubah menjadi warna cokelat?,” aku kaget.
“Maya, gunakan saringan!,” aku berbalik mendengar teriakan yang tak asing di runguku. Ibu berlari menuju ke akarahku sambil membawa alat yang kuduga sebuah saringan.
Sebentar! Mengapa ibuku berlari seperti robot mainan? Maksudku gerakannya patah-patah bak robot. Aku menjauh darinya. Jujur! Meskipun dia ibuku, tapi hal itu sungguh terlihat sangat menakutkan.
Aku kehabisan napas berlari terlalu jauh dari rumah. Aku membungkuk menopang badan dengan lutut sambil terengah-engah. Tanpa disadari, aku berada di tengah jalan. Aneh, mengapa tidak ada satu pun kendaraan yang menabrakku?
Minimal aku diserempet kendaraan roda dua. Rupanya tidak ada satu pun kendaraan yang melaju di sini.
Aku memandang lurus ke depan, tampak orang-orang seperti sedang bergerombol. Kuputar badan demi melihat sekeliling. Ternyata mereka tidak sedang bergerombolan. “Astaga!! Sejak kapan populasi manusia di Indonesia meningkat pesat seperti ini?,” gumamku.
Dan apa ini? Burung-burung yang biasanya berkicau sekarang lenyap. Hewan ternak tetanggaku, entah sekarang berada di mana. Pohon-pohon subur yang bertahun-tahun tumbuh di sekitar jalanan ini sepertinya juga sudah ditebang semua.
Hanya terdengar bunyi deru mesin pabrik yang terlihat seperti mengepungku dari segala arah.
Napas tercekat. Bukan! Ini bukan karena terkejut dengan hal-hal aneh yang barusan kusaksikan. Namun, ini murni perasaan sesak yang tiba-tiba datang memburu organ pernapasan.
“Maya!” Lagi-lagi terdengar suara yang tak asing di telingaku. Terlihat seorang gadis sebaya berlari kecil mendekat.
Dia Ika. Sahabat sekaligus teman masa kecil. “A-ada ap-pa ini?” aku bertanya terbata-bata karena kesulitan bernapas.
“Mengapa kau berkeliaran tanpa menggunakan masker? Kau mau mati?” ocehnya sambil memasangkan sebuah masker ke mukaku. Aku lupa mengenakan masker, bisa saja aku tertular Covid-19, virus yang mengerikan itu.
“Kenapa tidak ada satu pun kendaraan disini? Biasanya setiap hari terjadi kemacetan parah,” tanyaku sambil berjalan menyusuri jalanan yang diisi manusia bermasker.
“Maya, kamu tahu sendiri kapan terakhir kali terjadi kemacetan di jalanan ini. Itu sudah sangat lama sekali,” balas Ika sambil menghentakkan kakinya di aspal. Mungkin dia merasa kesal, semoga saja dia tidak marah padaku.
Aku menarik napas jengah, lalu mendongakkan kepala. Betapa terkejutnya aku ketika melihat mobil-mobil yang beterbangan kesana kemari. Aku bahkan menganga ketika melihat pesawat mengangkut ribuan penumpang.
Seingatku, aku mempresentasikan penemuanku itu di depan kelas minggu lalu. Dan, sekarang pesawat itu benar-benar terbang di atasku.
“Sebenarnya, aku ada di mana?,” tanya itu kembali menonjok.
Mengapa semua terlihat asing disini? Aku merasa seperti baru terbangun dari tidur yang panjang, lalu berada di zaman yang berbeda. “Ini!” Ika menyodorkan segelas minuman cokelat. Aku merasa kehausan dari tadi, aku meminumnya.
Huk … huk … huek
“Ika … sebenarnya kau memberiku apa ha? Ini lebih terasa seperti limbah daripada minuman cokelat,” aku melempar minuman aneh itu sembarang arah.
“Apa maksudmu, May? Itu memang limbah. Aku belum menyaringnya, lantas kamu meminumnya? Bodoh!” ucap Ika sambil menoyor kepalaku di akhir kalimatnya, ia berbalik dan berjalan menuju arah datangnya tadi.
“Hah … limbah?” aku sambil membayangkan air menjijikkan itu melewati tenggorokanku. Pasti banyak bakteri dan zat-zat berbahaya di dalamnya.
“Ini, aku sudah menyaringnya. Minumlah!,” Ika datang membawakanku segelas air putih, yang terlihat masih agak keruh. “Kau bodoh? Mengapa kau menyuruhku minum air bekas limbah? Hei … lebih baik aku mati kehausan daripada harus meminum air menjijikkan itu,” cecarku pada Ika.
Bosan mendengar cemoohanku, Ika lalu meminumnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Benar-benar tidak sayang tubuh.
***
Ika mengajakku ke sebuah tempat, aku pernah melihat tempat ini di sekolah, ini adalah laboratorium. Layaknya laboratorium pada umumnya, di sini terdapat banyak sekali alat-alat yang membuatku berdecak kagum. Aku memang memiliki ketertarikan dengan laboratorium, nilai kimiaku selalu menjadi yang tertinggi di kelas.
“Lihatlah, ini adalah saringan udara,” ucap Ika sambil membawaku ke sebuah benda aneh.
Terdapat corong di atasnya dan benda itu terlihat bergetar.
“Saringan udara,” beoku. “MAKSUDMU?,” sambungku dengan pekikan membulatkan mata yang membuat telinga Ika berdenging beberapa saat.
Oh God! Semoga saja tidak seperti yang kupikirkan.
“Kau bernapas memakai udara yang telah disaring, makanya tadi kau kesusahan bernapas tanpa masker oksigen,” Lanjut Ika santai sambil memperbaiki maskernya dengan gaya centil yang menjadi ciri khasnya. Aku tidak habis pikir, mengapa semua berubah dalam waktu sekejap.
Aku menuju sebuah benda yang dari tadi menarik atensiku. Benda yang menyerupai pil obat, namun terdapat cairan di dalamnya. Aku termenung membaca setiap name tag yang terdapat pada bagian atas benda itu. Aku terus berjalan menyusuri ratusan, ah tidak! Ribuan benda asing yang berbentuk pil di ruangan ini.
“KYAAA!” pekikku terkejut karena di dalam beberapa pil tersebut terdapat tubuh manusia.
“K-kenapa, huh?” tanya Ika dengan napas yang tersengal-sengal, ia segera berlari ke arahku karena terkejut mendengar pekikanku.
“Kenapa ada manusia di sini?” aku lirih merasa ketakutan.
“Oh … bukannya memang dari dulu seperti ini? Mereka yang meninggal, dihidupkan kembali menggunakan cairan,” jelas Ika sambil menyusuri pil-pil besar yang terlihat seperti labirin.
“Tapi bagaimana bisa? M-maksudku, bagaimana manusia bisa dihidupkan menggunakan cairan? Huh ….,” desahku frustrasi. Hei! Aku benar, bukan? Itu sangat mustahil!
“Tidak ada yang mustahil selama ada teknologi. Jasad-jasad direndam dalam cairan elektrolit selama beberapa hari. Setelah itu mereka dapat hidup kembali selama beberapa bulan, dan setelahnya harus mengisi energi lagi.
Kalau tidak, mereka akan kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan bereaksi layaknya manusia biasa pada umumnya,” jelas Ika panjang lebar.
Hal ini membuatku teringat akan tingkah ibu yang aneh tadi, jangan-jangan ibu salah satu hasil dari percobaan gila ini? Awas saja kalau memang benar, beraninya mereka mengganggu jasad ibuku yang seharusnya sudah tenang di alam sana.
“Heii!” Aku memekik kaget karena tiba-tiba Ika menarik tanganku,”Apa yang kau lakukan ha?? Mau membuatku ma-,”
“Lihatlah, ini pilmu,” Ika memotong ucapanku dan menunjukkanku sebuah pil yang berukuran persis sama dengan pil-pil lainnya.
“Sebentar! Pilku?”
Jantungku seketika terasa diremas. Adrenalinku memacu, tetesan keringat tiba-tiba mengalir di pelipisku. Aku memegang kepalaku yang berdenyut nyeri. Rasanya, aku baru saja loncat dari gedung bertingkat. Argh … mengapa semua hal-hal aneh ini bergejolak di benakku?
Aku mengatur napasku yang tidak beraturan.
Tunggu! Aku berbalik melihat Ika yang menatapku dengan kebingungan. Ada satu hal yang kulupakan.
“Tahun berapa sekarang?”
***
“HUWAAA!” Aku berteriak kaget karena terjatuh dari kasur. Huh … sulit rasanya menyadari bahwa hal ini adalah mimpi. Semuanya benar-benar terlihat nyata.
Aku kembali duduk ke kasurku dan mengambil air di atas nakas, lalu menenggaknya.
“Hueek!”
Aku memuntahkan air yang barusan kuminum. Aku teringat akan limbah yang berada dalam mimpiku.
Oh, God! Tidak terbayang jika hal itu benar-benar terjadi. Limbah beracun dan udara yang disaring, serta jasad-jasad yang dihidupkan kembali. Huh … bukankah hal itu menyalahi takdir Tuhan?
Manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab menjadikan negeri kita hancur karena ulahnya. Limbah pabrik yang dibuang sembarangan, dapat mencemari air-air jernih.
Asap kendaraan, pembakaran lahan, dan sebagainya, dapat menimbulkan polusi serta pencemaran udara.
Mulai sekarang aku akan berusaha menjaga negeriku, tetap menjaga keasrian dan sumber daya alam yang tersisa.
Tidak akan kubiarkan tangan-tangan nakal mencuri keindahan yang dianugerahkan tuhan pada negeriku.
Marilah kawan, kita senantiasa menjaga keindahan negeri kita. Menjaga harta benda yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Negeri kita, Indonesia.
Jangan biarkan teknologi melindas anugerah-anugerah yang Tuhan berikan. Jika bukan kita, siapa lagi?
Aku, kamu, dia, dan mereka. Marilah bersama kita peduli Indonesia. Bersatu menjaga kesuburan negeri tercinta, Indonesia.