BOJONEGORO, Tugujatim.id – Sepanjang 2021, Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro mencatat ada 2.690 perkara perceraian yang terjadi dengan motif yang berbeda-beda, termasuk penyebabnya adalah istri yang merasa tidak puas ketika di ranjang.
Dari 2.690 perkara, meliputi 1.909 cerai gugat dan 781 cerai talak. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2020 dengan jumlah perkara perceraian mencapai 3.690 kasus. Jumlah ini disebabkan virus Covid-19 yang membatasi pengunjung di PA Bojonegoro.
“PA Bojonegoro lockdown dua kali karena Covid-19,” tutur Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro Sholikhin Jamik pada Kamis (06/01/2021).
Dari jumlah perkara yang terjadi sepanjang 2021, terhitung 3 persen perceraian karena istri tidak puas ketika di ranjang, 24 persen cerai karena faktor perselingkuhan, dan 59 persen cerai karena faktor ekonomi.
“Menariknya 3 persen (faktor) cerai karena tidak puas dalam hubungan di ranjang, dulu kasus ini tidak ada,” ungkap Sholikhin.
Menurut dia, selain penyebabnya dari faktor ekonomi, saat ini sudah muncul emansipasi perempuan di Bojonegoro. Artinya, Sholikhin menjelaskan, hubungan suami istri bukan menjadi hak suami saja, tapi istri punya hak yang sama.
Sementara untuk faktor perselingkuhan, Sholikhin meyakini penyebabnya karena teknologi informasi yang saat ini memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi juga tergantung tingkat keimanan seseorang.
“Faktor keimanan dari diri seseorang, artinya mereka merasa diawasi Allah SWT, itu namanya iman,” tutur dia.
Sementara itu, perceraian karena faktor ekonomi masih menjadi masalah terbesar dengan jumlah mencapai 59 persen, Sholikhin menyarankan untuk dilakukan pemberantasan kemiskinan, termasuk meningkatkan sektor pendidikan di tengah masyarakat.
“Solusinya seharusnya mengentas kemiskinan dan kebodohan. Jadi problem terbesar masih sama, ketika kemiskinan dan kebodohan menjadi hal yang utama di Bojonegoro, maka selama itu juga tingkat perceraian masih tinggi,” tuturnya.
Dia menyarankan untuk masyarakat Bojonegoro diberi pelatihan-pelatihan untuk modal dalam mencari atau menciptakan pekerjaan yang mampu membangkitkan ekonomi.
“Anak-anak di Bojonegoro ini harus berpendidikan tinggi minimal SMA. Kalau dari sisi ekonomi yang terpenting bagaimana masyarakat punya kemampuan keterampilan, meningkatkan pelatihan yang mengarah pada pendapatan mikro, itu menjadi cikal bakalnya,” ujar Sholikhin.