SURABAYA, Tugujatim.id – Annual International Conference on Islam Studies (AICIS) 2023 dibuka di UIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa malam (02/05/2023). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam acara AICIS 2023 itu menggaungkan tindakan anti diskriminasi melalui kajian hukum Islam atau fikih.
AICIS merupakan pertemuan akademisi Islam dunia yang digelar setiap tahun oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama RI. AICIS menjadi kegiatan diskusi intensif yang terkait isu-isu hukum Islam atau fiqih dalam potret realitas kehidupan manusia saat ini.
Menurut Yaqut, kehidupan tatanan sosial terus mengalami perubahan atau dinamis. Tatanan sosial akan terus mengikuti perubahan zaman. Memaksakan cara hidup yang statis sama saja dengan menentang sifat perubahan itu sendiri.
“Prinsip yang sama juga berlaku untuk pemahaman keagamaan terutama yang terkait dengan kehidupan sosial atau mualmalah yang bersifat ijtihadiyah atau penafsiran dengan menggunakan akal manusia,” kata Menag Yaqut dalam acara AICIS 2023 pada Selasa (02/05/2023).
Yaqut mengatakan,rumusan norma agama atau fikih juga seharusnya mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Hal tersebut menegaskan bahwa karakteristik fikih harus bersifat fleksibel dan dinamis. Dengan demikian, ilmu fikih akan mampu menjawab persoalan baru yang kekinian.
“Tantangan sekarang ini hanya keberanian untuk membongkarnya. Berani atau tidak kami membongkar fikih yang sudah mapan selama ini. Kami harus mengakui bahwa fleksibilitas fikih ini bertentangan dengan pendapat sebagian orang yang menganggap bahwa fikih itu ada seperangkat norma yang kaku dan sakral sehingga tidak mungkin diubah,” ucapnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kalangan menganggap bahwa fikih menjadi ketentuan hukum yang tepat, tidak bisa diubah karena sesuai dengan Al-Qur’an dan al-Hadits.
“Karena itu, saya berharap pembahasan recontextualizing fiqh ini dilakukan secara bertahap isu per isu. Jadi tidak usah bicara terlalu besar supaya lebih detail. Isu yang selama ini menjadi problem serius dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Terutama dalam isu yang terkait dengan hubungan dengan muslim dan non muslim,” bebernya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan pertentangan antara muslim dan non muslim sampai hari ini menjadi permasalahan yanga continue. Hal tersebut patut diwaspadai, mengingat kurang dari satu tahun ke depan, Indonesia akan menghadapi tahun-tahun politik.
Perbedaan pilihan politik rawan menjadi pemicu munculnya pandangan segegrasi antara muslim dan non muslim. Bahkan, muncul pandangan umat Islam harus memiliki sifat permusuhan kepada non muslim. Seorang yang dianggap kafir harus tunduk terhadap perlakuan diskriminatif.
“Ini masalah menurut saya sudah mapan. Kita sekali lagi ditantang berani atau tidak untuk membongkarnya. Dengan atau tanpa sadar, pandangan seperti ini kemudian melahirkan kembali upaya sekelompok orang untuk menegakkan kekhalifahan Islam,” ujarnya.
Dia berharap, melalui konferensi akademisi dunia melalui AICIS 2023 ini dapat mempertemukan akademisi atau pakar dari berbagai agama, tidak hanya Islam saja.
“Problem seperti ini bukan hanya dominasi Islam belaka. Karena itu, beberapa waktu yang lalu saya berharap ada tokoh-tokoh di luar muslim yang juga diundang di forum AICIS ini. Jadi jangan hanya tokoh dan pemikir muslim. Karena semua agama sebenarnya menyimpan problem yang sama,” paparnya.
Menurutnya, alangkah lebih baik demi menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan damai, pertemuan antartokoh agama dapat saling memahami satu sama lain. Sehingga mencegah terjadinya tindakan diskriminatif.
“Harus berani mempertimbangkan tafsir yang lebih baru, yang lebih memungkinkan kita hidup dengan damai. Dalam Islam memang tidak mudah untuk melakukan recontextualizing fiqh. Saya dan kita semua menyadari. Karena itu, kita harus mengumpulkan keberanian secara bersama-sama. Karena setiap pandangan keagamaan yang otoritatif, itu pasti merupakan proses dari ijtihad yang juga otoritatif,” ujarnya.