MOJOKERTO, Tugujatim.id – Kegiatan belajar di luar sekolah atau study tour belakangan ramai dibahas. Terlebih pasca kecelakaan maut bus yang memuat rombongan SMK Lingga Kencana Depok pada pekan sebelumnya. Dari kejadian tersebut, sederet pendapat bermunculan, mulai pemerintah, agensi travel, termasuk akademisi Unim Mojokerto.
“Pada dasarnya, study tour itu bagus karena mengenalkan peserta didik melalui pembelajaran kontekstual. Artinya, peserta didik tidak hanya belajar di ruang kelas, namun juga menyaksikan langsung apa yang mereka pelajari di lapangan,” tutur Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unim Mojokerto Suesthi Rahayuningsih pada Jumat (17/05/2024).
Tidak hanya itu, dalam kurikulum Merdeka Belajar terdapat istilah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila alias P5. Untuk mendukung P5, pembelajaran tidak melulu dilakukan di ruang-ruang kelas.
Also Read
“Jadi fokus P5 itu penguatan karakter siswa. Nah, salah satu caranya lewat pembelajaran di luar kelas dengan menyambangi budaya atau tempat tertentu,” imbuh Suesthi.
Dengan demikian, Suesthi berharap kegiatan semacam study tour harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Terlebih, jenjang sekolah membutuhkan pedoman dari dinas setempat terkait regulasi.
“Kewenangan kini di tangan dinas masing-masing. Kalau dikatakan harus ada standar operasional atau SOP juga lebih bagus. Namun timbul pertanyaan apakah sekolah berwenang membuat SOP? Kan menunggu dinas terkait, berbeda dengan perguruan tinggi,” beber Suesthi.
Karena itu, Suesthi mendorong komunikasi lintas sektor terus digaungkan. Tidak hanya sekolah, keaktifan komite sekolah, termasuk orang tua siswa juga memegang peran penting. Terutama merumuskan kepentingan belajar siswa.
“Karena kami memandang tiap orang tua siswa berbeda-beda. Ada yang proaktif, ada yang pasif. Ada yang ikut saja apa suara mayoritas. Kalau semua pihak mau duduk bersama, kami yakin selanjutnya hal-hal negatif bisa dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali,” ujar Suesthi.
Bila komunikasi terjalin dengan baik, kebijakan yang lahir akan bernilai positif dan berkesinambungan.
“Agar tidak terkesan membuat kebijakan bersifat emosional atau spontanitas belaka. Siapa sih yang ingin siswanya terkena hal-hal negatif? Tentu semua lembaga tidak mau. Karena itu, semua pihak harus duduk bersama mencari titik mufakat,” ungkap Suesthi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: Hanif Nanda Zakaria
Editor: Dwi Lindawati