Tugujatim.id – Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (selanjutnya disebut Permen PPKS) mendapat penolakan dari sejumlah Ormas Islam. Permen PPKS yang diundangkan sejak September 2021 itu dinilai berpotensi legalkan seks bebas.
Dua Ormas Islam yang menyatakan sikap menolak atas Permen PPKS tersebut adalah Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Penolakan PP Muhammadiyah disampaikan melalui siaran pers yang dikeluarkan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 8 November 2021. Sikap tertulis yang ditandatangani oleh Prof H Lincolin Arsyad MSc PhD tersebut memberi kritik secara formil dan meteriil atas Permen PPKS.
“Sikap kritis Persyarikatan Muhammadiyah terhadap pembentukan Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 dikarenakan peraturan tersebut mengalami masalah formil dan materiil,” terang press release tersebut.
Secara formil Muhammadiyah menilai Permen PPKS tidak memenuhi asas keterbukaan dalam penyusunannya. Minim informasi yang disebarkan terkait Permen tersebut sehingga tidak ada pengkajian yang maksimal. Kemudian, dianggap memiliki kesalahan dalam hal pengaturan pelanggaran norma seksual yang diikuti sanksi yang tidak proporsional, serta mengatur norma yang terlalu rigid sehingga bisa mengurangi otonomi Perguruan Tinggi.
“Pemen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide pasa 62 UU No 12 Tahun 2012 tentang pendidikan Tinggi) melalui pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Vide pasal 23 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021),” paparnya.
Kemudian secara materiil, ada beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Misalnya, pada pasal 1 yang menyatakan kekerasan seksual terjadi karena “ketimpangan relasi kuasa”, padahal menurutnya ada banyak faktor penyebab. Kemudian definisi kekerasan seksual pada pasal 5 ayat (2) bahwa disebut kekerasan seksual apabila tanpa persetujuan korban. Ini berarti seksual yang dilakukan dengan persetujuan korban dibenarkan. Maka berarti Permen PPKS tersebut melegalkan seks bebas. Dan, mengabaikan nilai-nilai agama.
“Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak,” paparnya.
Terkahir, PP Muhamadiyah juga keberatan terhadap sanksi yang diberikan bagi kampus yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yaitu penurunan akreditasi kampus. Sanksi ini dianggap tidak proporsional, berlebihan dan represif.
Karena berbagai alasan tersebut Persyarikatan Muhammadiyah meminta agar Permen PPKS itu dicabut.
Sebelumnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia juga menyampaikan sikap keras dan mengecam Permen PPKS melalui ketuanya, Dr Adian Husaini. Melalui laman pribadinya adianhusaini.id, dia mempersoalkan definisi “kekerasan seksual”. Definisi yang diberikan Permen PPKS pasal 5 atay 2 (I) bahwa kekerasan seksual apabila: “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban dan membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban”.
Definisi ini sangat bias dan bisa diartikan jika melakukan hubungan seksual sudah sama-sama setuju berarti tidak termasuk kekerasan seksual.
“Jadi, kalau mahasiswa dan dosen terlibat aktivitas seksual perzinahan berdasarkan suka sama suka, ya tidak perlu dipersoalkan. Kampus pun tidak perlu repot-repot untuk membentuk satgas untuk menangani kasus perzinahan dan tindakan amoral lainnya. Jadi, tidak salah jika dipahami, bahwa Permen PPKS ini memang satu bentuk legalisasi perzinahan di kampus,” kata Adian.
Dia mengingatkan bahwa terhalangnya tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 (3), UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012 bukan hanya karena “kekerasan seksual” tetapi lebih tepat “kejahatan seksual”.
“Perkosaan atau pelecehan seksual itu satu KEJAHATAN SEKSUAL. Tetapi, perzinahan dan seks bebas yang dilakukan dengan persetujuan para pelaku pun–menurut ajaran agama–termasuk KEJAHATAN SEKSUAL yang wajib ditanggulangi secara serius oleh pihak pimpinan kampus,” kata dia.
Untuk itu, Adian mengajak pada umat Islam agak tidak berdiam diri dengan adanya upaya merusak nilai moral di Pendidikan Tinggi.
Sementara itu, sebelumnya Kemendikbud-Ristek memberikan jawaban atas kritik yang dilancarkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal Permen Antikekerasan tersebut. Dikutip dari detik.com, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Nizam, mengatakan bahwa Permen PPKS untuk menangani persoalan kekerasan seksual di kampus.
“Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama ini tidak tertangani sebagaimana mestinya,” kata Nizam seperti dikutip detik.com, Sabtu (6/11/2021).
Permen PPKS ini dinilai mendesak untuk mencegah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang berdampak buruk bagi korbannya dan dapat merusak proses pendidikan di kampus.
Nizam juga memastikan bahwa penyusunana Peremen PPKS sudah melalui proses harmonisasi dengan 10 peraturan perundang-undangan di atasnya. Dan, tak kalah pentingnya, juga dimaksudkan agar para pembelajar di kampus dapat mengembangkan diri dan memiliki spritual keagamaan, kecerdasan pribadi dan akhlak mulia.
“Kekerasan seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan tersebut,” kata Nizam.