Oleh: Anggota Bawaslu Tuban Sutrisno Puji Utomo
TUBAN, Tugujatim.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang calon tunggal menjadi momen penting bagi perbaikan tata kelola penyelenggaran pemilu kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk setiap daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon atau yang lebih dikenal dengan istilah calon tunggal atau istilah lainnya (bumbung Kosong) untuk tetap bisa menyelenggarakan pilkada, dengan mekanisme melalui keputusan MK No 100/PUU-XII/2015 daerah dengan calon tunggal, hanya ada pilihan “setuju atau tidak setuju” terhadap calon tersebut.
Keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 54C UU No.10/2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyatakan pemilihan pasangan calon tunggal bisa dilaksanakan jika setelah penundaan dan memperpanjang pendaftaran tetap hanya ada satu pasangan bakal calon yang mendaftar.
Lalu dari hasil penelitian, pasangan calon memenuhi syarat. Selain mampu menjamin hak politik masyarakat serta partai politik untuk memilih dan dipilih, adanya mekanisme ini mampu memberikan ruang koreksi sekaligus legitimasi dari pemilih terhadap calon tunggal tersebut. Dalam hal ini seorang pemilih diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan layak atau tidaknya kandidat tunggal tersebut untuk memimpin daerahnya.
Baca Juga: Kali Kedua, Pemkab Jember Raih WTP dari BPK RI atas LKPD 2023
Lalu, bagaimana jika dalam praktiknya nanti ada perselisihan untuk pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal, siapa yang menjadi subjek hukumnya yang mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan sengketa?
Mahkamah Konstitusi melalui Penjelasan dari PMK No 2 Tahun 2015 yang diubah menjadi PMK No 2 Tahun 2017, sudah mengatur siapa yang memiliki legal standing (kedudukan hukum) mengajukan gugatan sengketa pilkada dalam hal hanya ada pasangan calon tunggal.
Jika dalam hal perolehan suara “tidak setuju” lebih banyak daripada yang “setuju” adalah pasangan calon tunggal bisa melakukan gugatan. Sedangkan dalam hal perolehan suara “setuju” lebih banyak daripada yang “tidak setuju” maka pemantau pemilu nasional atau lokal bisa mengajukan dirinya untuk melakukan gugatan dalam pilkada dengan pasangan calon tunggal.
Dengan pasangan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah, rakyat akan dihadapkan pada pilihan setuju atau tidak setuju terhadap calon tunggal yang ada dalam pilkada.

Apabila suara rakyat banyak memilih setuju, maka pasangan calon tersebut ditetapkan sebagai kepala dan wakil kepala daerah terpilih. Tetapi, jika lebih banyak yang memilih “tidak setuju”, maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.
Ini yang akan menjadi dilema masyarakat, jika memilih tidak setuju maka akan sangat merugikan masyarakat di daerah itu sendiri. Karena pelaksanaan pilkada akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya sehingga kekosongan kepemimpinan tersebut akan diisi oleh kementerian dalam negeri dengan menunjuk PJ dan ini akan membuat polemik baru di daerah tersebut.
Tetapi dengan mekanisme pilkada dengan calon tunggal seperti ini juga bisa menjadi sarana bagi partai politik untuk melembagakan dirinya dengan mencalonkan kandidat yang memiliki kapabilitas dan elektabilitas tinggi di mata masyarakat. Jika tidak, partai politik akan menghadapi konsekuensi delegitimasi di hadapan masyarakat daerah akibat kandidat yang diusung dikalahkan oleh banyaknya pemilih yang memberikan suara “tidak setuju” terhadap calon tunggal tersebut.
Baca Juga: Muncul Banner Al Barra dengan Kader Gerindra, Begini Respons Wakil Bupati Mojokerto
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya memperbolehkan adanya calon tunggal bagi daerah yang tidak ada calon lain melainkan juga mengubah persentase dukungan dari jumlah penduduk ke daftar pemilih tetap (DPT) di setiap daerah, dengan dipermudahnya syarat dukungan bagi calon perseorangan mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat untuk mencalonkan diri.
Dalam hal ini, individu masyarakat yang dinilai memiliki kompetensi tetapi tidak meraih dukungan partai politik dapat mencalonkan diri melalui jalur perseorangan. Dengan kata lain, dapat memicu calon kepala daerah alternatif yang tidak diusung partai politik. Tetapi jika tetap nantinya muncul calon tunggal, daerah tersebut tetap bisa melangsungkan pilkada.
Putusan MK terkait jumlah persentase dukungan ini bisa disinyalir dapat meningkatkan jumlah peserta pilkada yang maju dari jalur perseorangan, individu masyarakat yang memiliki kompetensi dan basis jaringan di bawah yang mengakar terhadap masyarakat untuk mengumpulkan syarat dukungan yang sudah ditentukan berdasarkan jumlah pemilih di daerah tersebut. Mekanisme ini juga mampu memberikan ruang pencalonan dan persaingan yang setara antara partai politik dengan calon perseorangan.
Sehingga pada akhirnya putusan MK mengenai calon tunggal dan syarat dukungan calon perseorangan, menjadi sebuah fondasi baru untuk mengkonsolidasi keberlangsungan demokrasi di daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Editor: Dwi Lindawati