Cara Berpikir Masyarakat Malaysia Terhadap Islam

malaysia tugu jatim
Salah satu masjid di Malaysia. Foto: pexels

Oleh: M Nuril Suaidi*

Budaya adalah kebiasaan yang terbentuk ketika kreativitas terbiasa melakukan sesuatu. Sebagai suku bangsa dengan sejarah yang panjang. Orang Melayu memiliki cara berpikir yang sangat kaya berdasarkan kreativitas, karakter dan selera orang Melayu itu sendiri.

Sejarah budaya Melayu mungkin berawal dari sungai. Seperti tercatat dalam “Sejarah Melayu” atau “Silalatus Salatin”, semua kerajaan Melayu terletak di wilayah pesisir. Kerajaan Siak paling dekat dengan kita saat ini. Juga jelas bahwa itu dekat sungai. Padahal, sungai adalah salah satu tempat yang layak dijelajahi untuk membaca jejak sejarah. Sebagai pintu gerbang budaya itu sendiri.

Sementara itu, istilah “Melayu” secara tertulis mengacu pada kelompok etnis yang tinggal di wilayah Muslim di Indonesia, Malaysia (Semenanjung), Petani (Mungthai Selatan), Brunei Darulsalam dan Mindanao (Filipina Selatan). Di dalam lingkungan. Demikian pula maknanya juga disamakan dengan “Asia Tenggara” atau “Nusantara”, yang juga mencakup wilayah yang sama. Tidak terbatas pada wilayah kepulauan yang sekarang dikuasai oleh Republik Indonesia. (Sang Mahdi).

Saya pikir kami dapat menyesuaikan pemikiran kami tentang banyak negara yang tercantum di atas. Bahwa orang Melayu sangat dekat dengan pemikiran Islam, yakni agama yang dianut oleh orang Melayu sendiri. Tentu saja pemikiran orang Melayu berpengaruh besar terhadap keyakinan mereka. Masing-masing negara di atas memiliki rezim Islam yang sangat kuat di wilayahnya.

Kuatnya pengaruh Islam dalam masyarakat Melayu sangat didorong dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Raja-raja Melayu menganggap diri mereka keturunan Alexander Agung. Bagaimana Islam tumbuh dalam lingkungan dan pemikiran Melayu.

Dengan demikian, orang Melayu sendiri semakin menerima pemikiran Islam tanpa pamrih. Maka itu dianggap sebagai mengikuti agama. Oleh karena itu, semua aspek Melayu, termasuk budaya itu sendiri, harus didasarkan pada ajaran Islam.

Di sisi lain, kita juga bisa melihat kuatnya pengaruh pemikiran Melayu terhadap ajaran Islam. Hal itu terlihat jelas pada aksara Arab-Melayu atau Jawi yang digunakan masyarakat Melayu. Kitab suci tersebut merupakan indikasi bahwa pemikiran orang Melayu adalah pemikiran Islam. Keberadaan naskah ini juga diklaim oleh orang Melayu. Andai saja ada orang yang mengaku sebagai orang Melayu. Kemudian pemikirannya tidak mengarah pada Islam. Artinya dia bukan Melayu. Tapi apakah orang Melayu tetap mempertahankan pola pikir seperti itu saat ini, dengan kemajuan teknologi yang pesat?

Orang Malaysia terkenal dengan tradisi menulis mereka. Dalam tulisan ini kita bisa membaca bagaimana pemikirannya diungkapkan. Berbau Islam, artinya sangat sarat dengan ajaran Islam.

Salah satu sastrawan Malayalam, misalnya Raja Ali Haji, dengan karyanya Gurindam Dua Belas, tulisan itu dengan jelas menunjukkan ide-ide keislaman yang terkandung dalam karya tersebut. Kemudian ada “Thow Ajar Melayu” yang ditulis oleh Tenas Effendy, juga dengan pemikiran Islam yang kuat. Itu masih dibahas di beberapa masjid saat ini.

Orang Melayu memilih Islam sebagai identitas mereka, yang masih dalam darah daging. Berbaktilah pada hamba yang telah diatur Islam. Pengabdian ini tercermin dalam kehidupan orang Melayu. Jadi jelas dari pernyataan para tetua Melayu bahwa orang Melayu harus beragama Islam. Jika dia bukan muslim, berarti dia bukan melayu. Nah, menurut pengertian ini, ketika seseorang mengaku sebagai orang Melayu. Tapi kalau tidak mengikuti ajaran Islam, apakah bisa disebut Melayu? Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh kami orang Malaysia.

Namun, orang Melayu tidak boleh menahan diri. Ini berarti tidak membaca pikiran yang tidak sesuai dengan Islam. Juga wajib untuk mempelajari ilmu di luar Islam, tetapi jangan menyia-nyiakan penipuan atau kedengkian dalam adat istiadat. Karena sesepuh Melayu menekankan bahwa semua ilmu yang dipelajari harus disaring terlebih dahulu. Sesuai dengan keyakinan Islam, kemudian diserialisasikan dengan nilai-nilai budaya leluhur dan norma-norma sosial yang diterima oleh masyarakat Melayu.

Para tetua Melayu selalu mengingatkan kita bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang mengetahui atau memahami perbedaan ilmu dan keyakinan. Harus ada keseimbangan normal. Agar harga diri sebagai orang Melayu tidak jatuh.

Orang tua Malaysia juga mendorong anak mereka untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Tidak hanya di sekolah atau universitas, tetapi di mana-mana. Asalkan tidak menyimpang dari kaidah Islam dan nilai-nilai leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Ilmu adalah apa yang seharusnya menjadi perahu yang membawa manfaat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Karena pencarian informasi harus hati-hati dan hati-hati. Sehingga ilmu yang dipahami tidak akan merusak kehidupan orang Melayu.

Islam juga menjadi pegangan yang kuat bagi orang Melayu untuk memisahkan orang Malaysia dari orang non-Melayu. Kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupannya membuat sesuatu yang tidak bisa dibedakan dengan orang Melayu. Sampai mati, Islam menjadi agama impor. Karena itu datang bersama dalam panduan untuk hidup. Pemikiran Melayu mengajarkan bahwa ia adalah makhluk yang benar-benar berorientasi pada keimanan kepada Penciptanya. Sehingga harus mengarah pada komitmen yang kuat untuk menerima Islam.

Nilai-nilai leluhur budaya Melayu harus dipahami menurut kaidah Islam. Meski kemajuan teknologi lebih gila, tapi akarnya tetap Islam, sehingga pandangan orang Melayu dan budayanya lugas. Saat ini, nilai-nilai Malaysia sepertinya sudah ditinggalkan. Tapi teruslah berdayakan diri dengan menerapkan budaya melayu sejati dalam kehidupan sehingga bisa mengatasi apapun.

*Penulis merupakan mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) IAI Al-Qolam Malang.