SURABAYA, Tugujatim.id – Ada sebagian orang yang berupaya memberi semangat pada rekan kerjanya, namun ternyata semangat yang diberikan tidak bisa membuat si rekan kerja membaik, justru terpuruk dan merasa dihiraukan. Hal itu membuat istilah ‘toxic positivity‘ menghangat di kalangan pemuda, khususnya di dunia pekerjaan.
Mengenai ‘toxic positivity’ sendiri merupakan kondisi di mana seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif, hingga menolak emosi-emosi negatif. Secara lengkap, Dosen Fakultas Psikologi Untag Surabaya Aliffia Ananta MPsi Psikolog menjelaskan lebih gamblang terkait bagaimana agar tidak terjebak dalam lingkaran ‘toxic positivity‘.
Bagaimana agar tidak terjebak dalam lingkungan kerja yang ‘toxic positivity‘?
Melanjutkan pemaparan, Ananta menjelaskan bahwa ‘toxic positivity‘ dapat berpotensi juga menjadi ‘toxic relation’, semacam hubungan kerja dan pola pertemanan yang nilainya sama-sama destruktif untuk perkembangan dan kebaikan diri kita.
“Kalau di dalam lingkungan kerja, ‘toxic positivity‘ bisa jadi ‘toxic relation‘ juga ya. Jadi hubungan kerja dan pertemanan yang nilainya ‘toxic‘ juga (hal itu potensial terjadi di kantor dan pekerjaan, red),” terangnya, Selasa (06/07/2021).
Di sisi lain, Ananta melanjutkan, orang yang melakukan ‘toxic positivity‘ dalam menjadi tampak egois atau ‘selfish’, karena tidak memperhatikan perasaan dan emosi-emosi yang dirasakan oleh orang lain, dalam hal ini rekan kerjanya.
“Orangnya bisa jadi egosentris (egois, red), selain yang saya sampaikan sebelumnya. Kita perlu cek, agar tidak terjebak (dalam ‘toxic positivity‘, red), kita perlu ulang lagi. Kira-kira perlu tahu, apa yang kita rasakan itu benar-benar hal yang kita boleh menamai (seperti ‘oh ini sedih’, ‘ini kecewa’, dan lain-lain, red),” jelasnya.
“Misalkan, kita sedang berada di saat jenuh, stres, sedih, malu, orang lain tidak tahu nama perasaan itu apa. ‘Pokoknya aku gak enak mau ngapain’, sehingga harus tahu atau sadar apa yang kita rasakan (terlebih dahulu, red),” bebernya.
Melanjutkan pembahasan, Ananta menjawab bahwa untuk mengenali situasi ‘toxic positivity‘, pertama, kita perlu mengenali perasaan kita sendiri, apakah itu termasuk sedih, kecewa, cemas, dan lain-lain.
Kedua, apakah perasaan itu normal? Lalu, ceritakan perasaan kita tersebut pada rekan di lingkungan kerja. Lalu, melihat bagaimana mereka memberi respon dari cerita yang kita sampaikan.
“Sehingga, ketika orang itu tahu namanya perasaan apa, bisa (ikut, red) memaknai, orang tersebut akan belajar juga bahwa menjadi ‘lelah’ dan ‘sedih’, biasa dan normal dialami orang pada umumnya,” bebernya.
Berkaitan dengan itu, Ananta menegaskan pula bahwa perlu ada sosok teman, sahabat atau kerabat dekat sebagai tempat untuk bercerita mengenai keluh-kesah. Yang dapat dipercaya dan tidak mudah memberi penghakiman pada kita.
“Kita harus punya teman, kerabat, sahabat atau orang yang benar kita percaya, sebagai tempat untuk mencurahkan emosi dan bercerita (mengenai keluh-kesah dan persoalan hidup, red),” tutunya.
“Cari teman yang tidak memberikan ‘judgement‘ atau penilaian. Misalkan, di tempat kerja kita sedang merasakan capek, tapi ada yang ngomong ‘lemah masa gitu aja capek’,” jelasnya.
Jawaban ‘judgement’ dari rekan kerja yang sedang berkeluh-kesah semacam itulah yang masuk dalam kategori ‘toxic positivity‘. Semacam upaya memaksa seseorang untuk tetap kuat dan tegar, menghiraukan emosi-emosi negatif yang seharusnya perlu diberi perhatian.
Bagaimana menasihati rekan kerja saat melakukan ‘toxic positivity’?
Menurut Ananta, untuk menasihati rekan kerja yang membuat lingkaran ‘toxic positivity‘ terbentuk, tidaklah mudah. Atau istilah yang dipakai Ananta yakni ‘gampang-gampang susah’. Karena tidak semua orang paham dan tahu apa itu ‘toxic positivity’.
“Jadi, sebenarnya kalau menasehati rekan ini gampang-gampang susah untuk dilakukan. Karena, mungkin belum semua orang mengenali apa yang dimaksud dengan ‘toxic positivity,” bebernya.
“Perlu tahu dulu bagaimana menjadi ‘toxic positivity‘ dan menjadi positif beneran itu apa. Lalu, kita juga bisa menyampaikan bahwa setiap orang berbeda, sudut pandang dan cara berpikir berbeda, satu sama lain tidak bisa disamakan,” tegasnya.
Dengan melakukan edukasi ringan semacam itu, jelas Ananta, dapat dipakai untuk mengatasi orang-orang yang terlibat dalam ‘toxic positivity’. Karena, nyatanya cara pandang dan emosi yang dialami setiap orang memang berbeda-beda.
“Tapi, yang paling penting adalah kita perlu membantu (memberi tahu, red) teman-teman kita, apa yang dimaksud ‘toxic positivity‘, sebenarnya belum tentu juga orang itu ada niat ‘toxic‘, tapi mungkin metode dan penggunaan bahasa yang salah jadi ada kemungkinan menjadi ‘toxic’,” pungkasnya.