Tugujatim.id – Agung Indra Permana atau pak Agung panggilan akrabnya. Dia memulai pengabdiannya untuk pendidikan di tanah Papua pada tahun 2013 lalu. Selepas lulus kuliah, pria 32 tahun ini mengikuti program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal).
Pogram ini merupakan pengabdian sarjana pendidikan selama satu tahun di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Tekadnya begitu besar untuk membantu pendidikan di daerah Papua sehingga yakin mengambil program tersebut dan tidak masalah ditempatkan di Papua.
“Saya mengikuti program SM3T, program menteri pendidikan dulu Pak M Nuh dari 2013-2014 di Distrik Asologaima, Jayawijaya,” kata guru 32 tahun itu.
Kemudian, guru SDN 1 Saukobye ini melanjutkan PPG di Universitas Negeri Yogyakarta dari kurun 2014 hingga 2016. Menariknya, setelah Pendidikan Profesi Guru (PPG) ia mengikuti GGD dan mau kembali ditugaskan di Papua, yaitu Kabupaten Biak.
“Tahun 2017 awal ikut GGD dan mulai ngajarnya Januari 2018 di Biak sampai sekarang,” ujar Suami dari Mutiara Zehan.
Ditemui secara virtual saat bersama dengan istrinya, pada 9 September 2022, dia menjelaskan bagaimana kendala-kendala selama mengajar di tanah papua tepatnya di SDN 1 Saukobye.
“Kendala yang ada disini kalo di-range 1-10, sekitar 9. Fasilitas penunjang sepeti gambar pahlawan, peta masih nggak ada,” ujar Guru berumur 32 tahun itu.

Ironisnya lagi sanitasi seperti toilet yang layak pun masih susah.
“Wilayah Biak tanahnya karang. Jadi warga banyak yang mengandalkan air hujan. Saya datang sampai sekarang toiletnya masih rusak,” ujar Pak Agung.
Toilet Tidak Ada, Kiriman Buku Salah Alamat
Sempat ditanya mengenai bantuan, Pak Agung memberikan jawaban yang mengagetkan. Pertama, dana itu sebenarnya ada tapi seringkali disalahgunakan oleh mantan Kepala Sekolah SDN Saukobye.
Kedua, bantuan buku sering salah alamat ke sekolah yang fasilitasnya sudah bagus. Buku bantuan pun masih terbilang kurang dari kata cukup baik dari jumlahnya maupun jenis-jenisnya.
“Alhamdulilah sejak ganti kepala sekolah toilet sudah ada meskipun hanya 1 terus bantuan buku sering salah alamat dan itu pun masih kurang,” katanya.
Kesulitan fasilitas itu juga belum ditambah dengan pandangan masyarakat di sana yang masih kurang mementingkan pendidikan. Beberapa murid Pak Agung sering tidak masuk sekolah karena alasan membantu orang tua bekerja mencari uang. Kalau hujan saat pagi bisa dipastikan sekolah tidak ada muridnya.
Sehari-harinya Pak Agung menempuh perjalanan selama 1 jam lebih untuk sampai ke SDN Saukobye dengan motor. Ia bisa menghabiskan Rp50 ribu selama 2 hari hanya untuk uang bensin pulang-pergi dari rumah ke kampung.
1 kelas rata-rata tidak lebih dari 10 orang siswa. Pakaian yang digunakan juga tidak seperti siswa di Jawa pada umumnya, karena tidak semua menggunakan sepatu alias beralaskan sendal.
Pak Agung sebenarnya guru olahraga tetapi lebih sering mengajar baca, hitung, dan tulis. Murid-murid di kampung sana, rata-rata masih terkendala menghitung dan membaca. Bahkan, karena SD tempatnya mengajar kekurangan guru ia harus menjadi tenaga administrasi.
“Saya ga nuntut anak bisa pengetahuan umum, yang penting baca tulis hitung. Siswa kelas 6 masih ada yang belum bisa berhitung perkalian, bahkan membaca. Ada yang bisa menulis tetapi masih salah penggunaan hurufnya,” ujar guru olahraga itu.
Selama mengajar di Biak dari tahun 2018 hingga saat ini, guru yang juga sudah memiliki istri ini pernah merasa sangat jenuh dan berpikir pindah ke SMP yang letaknya di kota. Sampai-sampai ia sudah mengajukan surat mutasi. Tak disangka beliau masih memikirkan nasib anak-anak di Distrik Saukobye.
“Saya sampai punya pemikiran idealis, tidak mau saya ngajar kalo bukan penjas. Langsung minta mutasi ke SMP yang bisa ngajar penjas. Tapi kalo saya tinggal anak-anak di kampung ini gimana, akhirnya sampai sekarang saya masih ngajar di SD Saukobye,” ucap guru tetap SD Saukobye itu.