MOJOKERTO, Tugujatim.id – Dari sekian novel yang diadaptasi ke layar lebar, novel Hati Suhita tampaknya menjadi pengecualian. Novel setebal 405 halaman ini tidak menyebutkan siapa yang berperan sebagai antagonis dari kisah Gus Birru (Omar Daniel), Alina Suhita (Nadya Arina), dan Ratna Rengganis (Anggika Bolsterli).
Selain itu, novel yang terbit pertama kali pada 2019 ini juga menceritakan apa saja konflik yang sering dialami oleh perempuan.
“Memang menariknya itu saya tidak menyebutkan siapa antagonis dari tiga karakter utama (Gus Birru, Suhita dan Rengganis). Masing-masing karakter punya konfliknya sendiri yang khas, tidak seperti pembedaan protagonis dan antagonis,” terang Penulis Novel Hati Suhita, Khilma Anis yang karyanya diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama, saat diskusi film sekaligus meet and greet pemeran film Hati Suhita di Graha Nuswantara lantai 1 Unim Mojokerto, pada Kamis (18/5/2023).

Kepada peserta diskusi film yang hadir, Khilma mengatakan bahwa setting tempat dalam film Hati Suhita adalah pondok pesantren, persis dengan cerita pada novelnya.
Bukan tanpa sebab dia memilih latar belakang tempat pondok pesantren. Pasalnya, cerita dari novel Hati Suhita juga salah satunya berasal dari pengalaman nyata salah satu teman dari penulis novel yang kebetulan mengasuh pondok pesantren.
“Kalau dibilang based on true story, bisa dibilang begitu. Soalnya ide cerita yang saya dapatkan salah satunya pengalaman pribadi Ning-ning (sebutan pengasuh perempuan pondok pesantren) di sebuah pondok,” beber wanita asal Jember, Jawa Timur itu.
Maka, dalam Hati Suhita, diceritakan bagaimana salah satu tokoh utama, Gus Birru dijodohkan oleh orang tuanya dengan Alina Suhita. Bagi kedua orang tua Gus Birru, Alina Suhita adalah sosok perempuan yang cocok untuk meneruskan kepemimpinan di pondok pesantren. Dalam kata lain, orang tua Gus Birru menyiapkan kader penerus sekaligus calon pengasuh pondok pesantren yang dimilikinya.
“Cerita Suhita ini juga pernah dialami oleh salah satu teman. Ia seorang wanita alumni pesantren lalu dijodohkan sekaligus disiapkan sebagai calon pengasuh pondok pesantren,” imbuh Khilma.
Selain menggarisbawahi perjodohan, Khilma dalam novel Hati Suhita juga ingin menyampaikan pesan bahwa apa saja konflik yang terjadi umumnya dialami oleh setiap perempuan. Pastinya ada perempuan yang berposisi sama seperti Suhita, atau berposisi seperti Rengganis yaitu wanita aktivis yang cerdas namun gagal dalam dunia percintaan, atau berposisi seperti orang tua Gus Birru yang mendambakan seorang cucu sekaligus mencari penerus dinasti kepemimpinan dalam pondok pesantren.
“Umumnya konflik di novel saya dialami oleh semua perempuan, entah pada posisi yang mana, saya yakin pasti mereka alami. Mereka bergulat dengan konfliknya masing-masing dan tetap tegar menghadapinya,” pungkasnya.