MALANG, Tugujatim.id – Eks narapidana teroris (napiter) Jawa Timur menganggap narasi wacana pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri merupakan hal keliru. Menurut mereka, tanpa Densus 88, justru stabilitasi keamanan di Indonesia bisa terganggu oleh aksi teror dan radikal lainnya.
Ketua Yayasan Fajar Ikhwan Sejahtera Jatim, Syarul Munif secara pribadi dan mewakili eks napiter yang ada di Jawa Timur menyatakan sikap tidak setuju dan menolak keras atas narasi pembubaran Densus 88.
“Kami memandang keberadaan dan peran Densus 88 itu sangat vital bagi kestabilan NKRI menghalau bahaya ancaman terorisme di Indonesia. Saya tau persis bagaimana virus yang dibawa kalau radikal itu sangat berbahaya,” ucapnya, Selasa (19/10/2021).
Menurutnya, bahaya dan ancaman teroris di Indonesia sangat nyata adanya. Sejumlah aksi terorisme di Indonesia sangat meresahkan dan cukup mengganggu kestabilan NKRI.
“Itu terbukti dengan aksi aksi yang sudah terjadi di Indonesia. Bahkan puncaknya menurut saya, terjadinya kerusuhan Mako yang korbannya juga dari aparatur Densus 88. Sampai sangat sadisnya, ada penggorokan dari teroris kepada Densus 88,” paparnya.
“Artinya, mereka di sarang Densus 88 saja masih berani seperti itu. Apalagi dengan tidak adanya satgas yang menjaga bahaya radikalisme itu akan semakin parah,” imbuhnya.
Syahrul yang kini tinggal di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang itu juga mengatakan, virus kaum radikal yang mempengaruhi masyarakat untuk mudah mengkafirkan orang dan menyalahkan pandangan orang lain juga merupakan potensi kemunculan anggota teroris baru.
“Bahaya itulah yang harus kita waspadai. Kalau terjadi lagi yang rugi bukan hanya wilayah saja, tapi nama citra Indonesia dimata internasional dari dampak patiwisata, perekonomian akan terdampak dan mengganggu kestabilan,” bebernya.
Selain itu menurutnya, potensi mantan napiter di Indonesia untuk kembali ke jaringannya juga masih menjadi ancaman besar. Untuk itu, tanpa Densus 88 yang telah terbukti mencegah aksi terorisme di Indonesia ini maka kestabilan NKRI akan terancam.
“Kalau tak ada Densus peluang kami untuk kembali ke jalan yang salah itu sangat besar. Kami tidak mudah kembali berbaur dengan masyarakat. Kadang komunitas yang lama masih mendekati, menawari, kalau tidak ada Densus peluang kembali itu sangat besar,” ungkapnya.
Syahrul yang sudah terjun dalam jaringan teroris sejak 2007 itu juga menceritakan bahwa Densus 88 telah merubah jalan hidup dan pandangan salah dari eks napiter. Dikatakan, Densus 88 telah memberikan pembinaan, pendampingan dan dukungan kepada eks napiter untuk menjadi warga negara yang baik.
“Dulu saya berpikir seperti napiter pada umumya, memusuhi negara, memusuhi orang orang yang tidak menerapkan syariat islam secara penuh. Kemudian saat didampingi Densus itu mulai sadar,” ujar pria 39 tahun itu.
“Kami diarahkan baca buku buku tentang pandangan lain dari beberapa ulama. Akhirnya saya banyak belajar dan lebih terbuka. Jadi ada pendekatan dari Densus kepada kami sehingga bisa berubah pandangan,” jelasnya.
Tak hanya itu, Densus 88 juga memberikan pendampingan usaha mandiri, biaya pendidikan anak hingga bantuan ekonomi. Untuk itu, peran Densus 88 juga sangat vital dalam pengembangan dan mengembalikan eks napiter ke lingkungan masyarakat.
“Jadi keberadaan Densus 88 itu menurut kita selain bertugas sesuai amanat UU, juga bekerja secara humanis kepada mantan napiter. Sehingga kita tidak berpikir kembali mengulangi kesalahan yang sama atau kembali ke kelompok jaringan,” imbuhnya.
Dia juga menjelaskan bahwa untuk bisa kembali berbaur ke lingkungan masyarakat umum merupakan hal yang sulit. Terlebih stigma teroris pastinya masih melekat dibenak masyarakat umum.
“Saat kembali ke lingkungan masyarakat, kita didampingi sedemikian rupa oleh Densus. Kami mulai membuka diri, berwirausaha, kerja bakti, sholat dengan masyarakat. Lama kelamaan masyarakat menilai dan menerima kami,” tutup mantan anggota Majelis Mujahidin dan jamaah Ansor Tauhid yang dipimpin oleh ustad Abu Bakar Baasir itu.