SUMATERA, Tugujatim.id – Silvia begitu semangat mengeksplorasi potensi yang ada di kampungnya melalui Ekspedisi Menulis Penatani.id. Berbekal kamera smartphone, dia begitu lihai merekam setiap apa yang dijumpai. Mulai dari petani yang bercocok tanam hingga keindahan alam yang ada di kampung halamannya.
Layaknya jurnalis profesional, perempuan asal Desa Padan Aranghulu, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, ini juga tidak malu bertanya kepada petani yang dia temui. Usai melakukan peliputan di lapangan, data itu kemudian dia olah sebelum diunggah di platform Penatani.id.
“Menyenangkan sekali, bagi saya ini merupakan pengalaman kali pertama. Selain bisa berbagi cerita potensi kampung, di platform Penatani.id, saya juga jadi tahu rupanya kawan-kawan di daerah Mulak Ulu sudah mulai menanam tanaman pendamping kopi, seperti lada,” ujar perempuan yang didapuk menjadi duta literasi dalam kegiatan Ekspedisi Menulis Penatani.id ini.
Dari artikel yang dibaca itu, perempuan yang juga petani muda ini mengaku tertarik untuk menyemai tanaman lada (Piper nigrum). Selain itu, melalui platform tersebut, Silvia juga merasa senang karena bisa mendapatkan nomor kontak langsung dengan narasumber atau petani lain sehingga bisa saling berbagi pengalaman.
Meski begitu, dia berharap jaringan platform Penatani.id bisa lebih diperluas, tidak hanya dinikmati di daerahnya saja.
Hal senada disampaikan Memosoando, pria yang juga peserta Ekspedisi Menulis Penatani.id lainnya. Dia mengaku bangga dilibatkan dalam kegiatan ini. Bagi dia, melalui kegiatan kolaborasi dari Yayasan Saka Warga dan PenaBulu Foundation, dia bisa memberikan dan mendapatkan informasi tentang dunia pertanian hingga wisata.
“Dampak pribadi yang saya rasakan adalah bisa membuat pupuk organik secara mandiri dengan cara melihat tutorial yang ada di Penatani.id,” kata pria dari Desa Mengenang, Mulak Ulu, Kabupaten Lahat, ini.
Menggali Potensi
Pengalaman Silvia dan Memosoando hanya sebagian kisah dari kegiatan Ekspedisi Menulis Penatani.id, kolaborasi dari Yayasan Saka Warga dan PenaBulu Foundation yang didukung Ford Foundation ini. Pengalaman serupa juga terjadi pada sebagian besar dari 200 peserta yang diambil dari desa-desa di Kecamatan Mulak Ulu dan Kecamatan Kota Agung lain yang dilakukan secara bertahap. Pada umumnya, peserta menemukan pengalaman pertama menggali potensi tentang desanya.
Sementara itu, Khotaman, koordinator Ekspedisi Menulis, mengatakan, pelibatan warga setempat untuk mengikuti kegiatan ini agar mereka tahu cerita-cerita menarik dari desanya sendiri. Peserta bisa menggunakan pengetahuan dan kemampuan yang dipelajari selama pelatihan. Mereka juga bisa menyebarluaskan cerita-cerita menarik itu kepada masyarakat secara lebih luas.
Ekspedisi Menulis biasanya diadakan selama dua hari di setiap desa. Hari pertama untuk belajar teori dasar jurnalistik, foto, dan videografi. Misalnya membedakan fakta dan fiksi, menentukan nilai berita, menggali informasi, sampai merangkai berita. Begitu juga dengan materi foto dan videografi, ini menjadi penting karena pengguna internet dan pembaca media di Indonesia semakin menyukai visual, terutama anak-anak muda.
Berbekal pengetahuan dan keterampilan baru, pada hari kedua para peserta kemudian ditugaskan untuk mencari cerita-cerita yang menarik di kampungnya. Misalnya seperti komoditas kopi yang selama ini mereka kelola secara konvensional, potensi budaya, tradisi, kearifan lokal, dan ekowisata.
“Rata-rata peserta yang kami jaring dari anak muda. Alasannya karena mereka yang paling berpotensi sebagai agen perubahan. Anak-anak muda masih bisa berpikir buat memajukan daerahnya, masih bisa berpikir terbuka. Anak muda masih mempunyai kesempatan untuk berkembang,” ujarnya.
Saat memasuki materi jurnalisme, para peserta terlihat semangat dan kooperatif. Sebab, mereka sudah tahu materi apa yang akan diangkat, tentunya itu berasal dari daerahnya sendiri. Bukan tentang berita-berita yang ada di media arus utama. Pada dasarnya, para peserta rata-rata sudah suka menulis sehingga kadang juga menemukan potensi-potensi baru dari peserta.
“Mereka semangatnya terpacu di situ. Jadi, selama ini memang menginginkan wadah, dan kami hanya bisa memfasilitasi wadah tersebut,” katanya. Dia melanjutkan, bahkan ada peserta yang memang sudah menunggu kegiatan ini. Pihaknya mencari peserta yang mau bekerja sama dan ingin mengembangkan diri supaya skill-nya bertambah.
Secara personal, Khotaman juga merasa terkesan, Ekspedisi Menulis ini bisa dijadikan ajang belajar. Bagi dia, banyak juga pelajaran yang penting, seperti manajemen kegiatan atau mengelola kegiatan, dan interaksi yang selama ini hanya sebatas dari instruktur dan peserta kini berkembang jauh. Seperti mempunyai pewarta baru. Selain itu, bisa sama-sama saling mengembangkan diri, baik itu instruktur ataupun peserta.
Selama Ekspedisi Menulis, Khotaman juga mengalami berbagai kendala. Pertama, karena berada di daerah terpencil sehingga untuk membangun kepercayaan dari masyarkat agak susah. Awal-awal dirinya seolah-olah dianggap orang yang mau menawarkan jasa atau juga dikira akan melakukan penipuan. Tapi, karena pendekatan ke masyarakat itu menjadi penting, membangun kepercayaan kepada mereka. Akhirnya masyarakat bisa terbuka dan menerima kedatangannya.
Kendala kedua, kondisi jalan yang rusak. Dia mengaku terjatuh hingga dua kali saat naik motor.
“Karena jauh dari jalan raya, jadi luput dari perhatian pemerintah. Apalagi saat hujan, lubangnya tambah banyak. Kadang-kadang berkabut juga sehingga membahayakan pengguna jalan,” kisahnya.
Merekam Kondisi Petani
Ekspedisi Menulis ini juga merekam kondisi petani karena profesi petani ini yang cukup mewakili dua kecamatan tersebut, jika disensus hampir 80 persen mata pencaharian warga setempat merupakan petani. Untuk peserta Ekspedisi Menulis sendiri cukup bervariasi, seperti guru honorer hingga staf kantor kecamatan.
Meski berprofesi lain, para peserta ini juga bercocok tanam karena mereka mempunyai lahan yang harus dikelola secara turun-temurun. Itu merupakan bagian dari identitas budaya yang ada. Pada dasarnya, kegiatan Ekspedisi Menulis ini dilakukan di daerah perbatasan langsung dengan hutan lindung. Salah satu misinya, yaitu untuk penyadaran terhadap kelestarian lingkungan. Jadi, tema-tema yang diambil juga tentang pengolahan pembuatan kerajinan berbahan baku sampah hingga budaya yang mendukung kelestarian lingkungan seperti halnya hutan adat dan hutan larangan.
“Kan ada itu secara adat pohon dilarang untuk ditebang, itu yang coba kami angkat. Sebab, di sini yang saya tahu ternyata banyak juga yang masih belum tahu terkait hal itu,” kata pria pehobi petualangan ini.
Meiardhy Mujianto, 42, Koordinator Pengembangan Kemitraan Area Model PenaBulu Foundation, menjelaskan, kolaborasi kegiatan tersebut tidak hanya tentang jurnalisme warga saja. Tapi, ada juga pendampingan masyarakat terkait Sustainable Natural Resource Management. Khususnya kepada petani yang sudah mempunyai izin perhutanan sosial untuk bisa mengelola sebuah komoditas yang sudah ditanam, misalnya kopi. Yaitu, dengan mengambil strategi bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Dia melanjutkan, bahwa nanti setelah BUMDes bisa menjalin kemitraan yang baik dengan kelompok-kelompok perhutanan sosial, peluang akan semakin terbuka, atau pembangunan dalam skala yang lebih luas, misalnya di tingkat kabupaten.
Karena faktanya, dia melanjutkan, selama ini petani yang ada di sekitar kawasan hutan itu kesulitan untuk mengakses aksistensi teknis, baik lewat dana desa (DD) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Dengan kerja sama antara kelompok-kelompok perhutanan sosial dengan BUMDes bisa menjadi sebuah celah alternatif. Tujuannya agar kegiatan-kegiatan di kawasan hutan bisa masuk dan terintegrasi ke pembangunan desa. Selain itu, ada peluang dana desa (DD) meski tidak langsung melalui BUMDes. Dia mengatakan, itu bisa dikucurkan melalui skema berkelanjutan kepada petani-petani yang ada di dalam kawasan hutan.
“Jadi, kami ini sebenarnya ingin mengintegrasikan antara isu-isu yang ada di perhutanan sosial, minimal dengan isu pembangunan desa,” kata Anto, panggilan akrabnya.
Anto beralasan, petani kopi menjadi fokus pendampingan karena kopi merupakan gantungan eksisting masyarakat Suku Basemah dan Suku Semedo. Ini merupakan suku-suku asli yang ada di Daerah Pagar Alam, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Muara Enim.
Dia menerangkan, di mana kopi sudah bukan lagi hanya sebuah komoditas. Tapi, bertani kopi sudah dilakukan puluhan tahun, mungkin juga sudah menjadi bagian dari culture mereka. Harapannya, dengan kegiatan-kegiatan seperti ini bisa menemukan praktik-praktik, baik yang sudah ada, termasuk dengan mengelola kopi menjadi lebih baik.
Selain pendampingan, pihaknya juga memfasilitasi mesin roasting kopi. Setelah dihitung-hitung, kopi yang berkualitas dijual dengan harga yang terjangkau itu bisa. Tidak harus melalui kafe, tapi bisa juga menjual kopi dengan bentuk bubuk.
“Kami bahkan cita-citanya jualan itu kopi curah atau kiloan. Kalau orang mau beli, bikin sendiri di rumah ya silakan. Kalau mau beli terus untuk di-packing sendiri ya silakan,” imbuhnya.
Selain pasar ekspor, pihaknya juga ingin meningkatkan level kualitas konsumsi kopi di masyarakat, yang itu merupakan sudah bagian dari kultur setempat. (ads)