MALANG, Tugujatim.id – Warga Dusun Bendungan, Landungsari, Dau, Kabupaten Malang, menjalani ritual saat pandemi Covid-19 atau biasa orang Jawa menyebutnya pagebluk sudah berjalan hampir dua tahun. Sebab, hampir setiap hari ada saja berita kematian yang tersiar dari corong pengeras suara musala dan barisan ucapan duka di beranda media sosial.
Situasi ini membuat mereka prihatin. Berbagai cara sudah dilakukan, tapi situasinya tak kunjung mereda. Obatnya pun belum ada sampai saat ini. Di tengah situasi sulit ini, sejumlah masyarakat, terutama di Jawa mulai menggelar selamatan atau ritual tolak bala, termasuk di Malang. Seperti apakah ritualnya?
Ritus ini juga dilakukan sejumlah warga di Malang. Salah satunya di Dusun Bendungan, Landungsari, Dau, Malang, beberapa waktu lalu.
Malam itu, Kamis Legi (08/07/2021), warga secara terbatas mulai menyiapkan sejumlah media sarana ritual di Punden Nyi Buyut Wader, salah satu tempat yang dikeramatkan di sana.
Ada banyak media yang disiapkan, mulai dari Tumpeng Kendit, aneka polo pendem, hingga bubur 5 warna atau yang disebut Jenang Sengkolo. Jenang ini dalam masyarakat Jawa memang identik dengan ungkapan berserah diri memohon keselamatan kepada Sang Pencipta atau disebut tolak bala.
Namun, beda dengan momen ritus tahunan, Jenang Sengkolo yang disajikan di sini dengan 5 warna, yaitu merah, putih, hitam, hijau, dan kuning.
Menurut Ketua Adat Dusun Bendungan Basuki Rahmad, selamatan tolak bala ini dilakukan di titik awal desa atau disebut punden.
Punden Buyut Wader diyakini menjadi lokasi cikal bakal adanya Dusun Bendungan. Selamatan untuk memohon restu akhirnya juga ditujukan ke Mbah Buyut Wader selaku tokoh Bedah Karawang.
Sesajian ini untuk ritus tolak bala di sini, mulai ubo rampe mulao pisang candi, telur, bunga, bumbu dapur lengkap, kopi, hingga rokok. Sesajen itu ditaruh di bawah pohon besar dekat lokasi punden.
Selain itu, juga disajikan Jenang Sengkolo 5 warna. Rahmad mengatakan, 5 warna ini adalah simbol dari 5 penjuru mata arah. Yaitu, utara, barat, selatan, dan timur.
”Nah, 1 warna hitam disimbolkan datang juga dari atas yang artinya bala (sial), baik berupa bencana atau kesusahan,” jelas dia pada reporter Tugu Malang, partner Tugu Jatim.
Dia juga menjelaskan, jenang sengkolo yang dibuat ini akan dikubur pada pukul 01.00 dini hari.
”Nanti jenang sengkolo ini akan ditanam atau dikubur di depan jalan masuk dusun pukul 01.00 dini hari sebagai simbol menangkal penyakit datang,” imbuhnya.
Sementara itu, Poniri, 49, warga setempat, menambahkan, di tempat lain juga ada yang menyajikan sesajen Jenang Sengkolo 9 warna. Filosofinya lebih pada menyelamati anggota tubuh yang terdiri dari 9 bagian. Namun, saat ini, 2 bagian sudah terlindungi masker, yakni mulut dan hidung.
”Tinggal 7 bagian tubuh lain yang belum dimaskeri atau perlu diselamati dan dimohon perlindungan. Makanya disajikan 7 warna yang biasanya 9 warna. Dan 9 warna ini dikenal dengan istilah Jawa-nya, Babakan Hawa Songo,” paparnya.
Rahmad masih menambahkan, tradisi selamatan tolak bala ini jadi tradisi langka. Mengingat hanya dilakukan saat ada bencana besar, seperti salah satunya pandemi Covid-19 ini.
”Selamatan serupa terakhir itu juga pernah digelar di sini pada 1919 silam, itu saat ada wabah PES,” kata Rahmad.
Dalam ritus ini juga dihadirkan media lain, yakni Tumpeng Kendit yang juga adalah representasi dari menolak bala. Prosesinya, tumpeng atas nanti dipotong sebagai simbol bencana itu dihilangkan.
Selamatan ditutup dengan mengirim doa-doa yang dilantunkan oleh para sesepuh atau kamituo setempat sesuai kepercayaan masing-masing warga dusun dan diakhiri dengan makan bersama.