(Oleh: Ardi Wina Saputra)
Ingin rasanya aku membuka goa garbaku lebar-lebar lalu menghisap kembali darah daging yang telah kulahirkan dari dalam rahimku. Ketika mereka sudah masuk semua, kututup kembali rapat-rapat gua garbaku lalu kukunci kemudian kulemparkan kunci itu ke kawah Gunung Semeru. Keinginan tersebut terbersit di pikiranku setelah sebelumnya aku gagal untuk mencongkel kedua bola mataku saat menyaksikan darah dan daging yang pernah bersemayam dalam rahimku, saling bersulang cawan kematian. Coba jawab pertanyaanku, Ibu mana yang sanggup melihat putranya saling bunuh-membunuh demi sebuah mahkota? Aku yakin kau tak akan mampu menjawabnya. Kunthi, janda para Pandawa yang dikenal akan ketegaran hatinya pun akhirnya meratap juga ketika menyaksikan panah Arjuna menembus dada Karna dalam perang Baratayudha. Padahal, kedua kesatria hebat itu sama-sama keluar dari rahim Kunthi. Seandainya saja Kunthi sedang bersamaku sekarang, mungkin kami akan berembug merundingkan cara untuk memasukkan anak-anak yang telah kami lahirkan ke dalam gua garba kami masing-masing.
***
Seperti beberapa malam terakhir, Nyai Purnani selalu menggumam sendiri di kediamannya. Membanding-bandingkan nasibnya dengan Dewi Kunthi. Tak jarang, wanita berdada sintal ini mengklaim dirinya adalah keturunan Ibu para Pandawa. “Apakah aku ini mirip Dewi Kunthi?” ujarnya pada setiap orang yang ditemui. Sayang sungguh sayang, setiap orang yang ditanya malah lari tunggang langgang setelah mendengar perkataan itu. Bagaimana tidak? Nyai Purnani tak pernah menampakkan diri ketika bertanya pada orang yang ditemui. Ia selalu saja melepaskan sukma dari raganya lalu menyusuri jalanan pegunungan Poedjon yang sering disebut dengan klein Swisterlein (Swiss kecil). Di tempat itulah Nyai Purnani sering berkelana dengan sukmanya. Kebiasaan itu dilakukan saat purnama menerangi lekuk demi lekuk jalanan Poedjon. Sesekali ia membilas kaki dan tangannya di kali Konto. Biasanya Nyai Purnani mengakhiri perjalanan malamnya dengan berendam di salah satu sumber permandian air panas, Lebak Sari. Ia menenggelamkan sukmanya ke dasar pemandian membilas seluruh sukmanya. Setelah merasa cukup bersih, ia melesat keluar permukaan air lalu berlari ke arah langit kemudian menukik tajam meluncur mencari raga yang telah ditinggalkannya.
Tak butuh waktu lama bagi sukma Nyai Purnani untuk kembali ke raganya. Raga yang duduk bersila dalam posisi bertapa itu sedang berdiam di salah satu petak perkebunan tebu di wilayah Bengkaras, salah satu sisi desa Poedjon. Sukma yang mendaras cepat itu menuju liang gua garba Nyai Purnani untuk masuk kembali memenuhi raga Sang Nyai. Setelah ritual berjalan sempurna, maka Nyai Purnani membuka kedua kelopak matanya. Tangan kananya meraba-raba kuali yang sudah disediakan di sebelah kananya. Isi kuali itu adalah air dengan melati, siap untuk disantap. Sang Nyai pun melahap melati bagai orang kelaparan. Hanya butuh waktu sekejap baginya untuk menghabiskan seisi kuali penuh berisi bunga melati. Purnani kekenyangan, ia terbang menuju singgahsananya di rumah mewah yang tak begitu jauh dari tempat pertapaanya. Ia lalu beranjak tidur karena esok akan ada tamu yang menemuinya untuk menanam kembali benih di gua garbanya.
***
Matahari kembali mengetuk langit memohon izin untuk masuk menerangi alam semesta. Tengadah tangan dedaunan diikuti dengan kicauan burung-burung manyar menambah sejuk pagi di Poedjon. Di tengah pagi yang hangat, Nyai Purnani baru saja membuka kedua bola matanya. Kebayanya compang camping tak karuan, terebih jarik yang melilit pinggulnya telah lepas menjauh dari kakinya. Beruntung ada kulit macan yang menyelimuti tubuhnya sepanjang subuh setelah ritus melelahkan dtuntaskannya di perkebunan tebu Bengkaras. Tubuhnya lunglai beranjak bangun. Sehelai kulit macan diikatkannya untuk menutupi gua garabanya. Ia menarik jarik di samping mata kakinya lalu bergegas memakai dan mengikatkan dengan rapat. Hanya dengan mengibaskan rambut sebanyak tiga kali, Nyai Purnani terlihat kembali segar. Ia mengencangkan kutangnya yang gelap agar buah dadanya terlihat tumpah menggoda. Tanpa perlu beralas kaki, Nyai Purnani berjalan di teras rumahnya. Rumah itu merupakan rumah pemberian Tuan Vonderkop, pemilik perkebunan Vallencia. Perkebunan Vallencia merupakan salah satu perkebunan jeruk terbesar di wilayah Poedjon. Luasnya lebih dari 60 hektar. Harian Soerabaiasch Handelsbland, De Indische Courant, dan Nederland Indie mengiklankan jeruk yang diproduksi dari perkebunan ini. Betapa melimpahnya harta yang dimiliki Vonderkop. Siapapun Wedana yang menjabat di Poedjon tentu akan sangat menghormati Vonderkop.
Rasa cinta Vonderkop terhadap paras ayu Purnani merupakan wujud kebutaan mata hati pria berkumis tebal itu. Satu istri dan tiga selir yang sudah diasuhnya, tak cukup untuk memuaskan jiwanya. Selain rasa cinta, sebenarnya ada satu alasan yang membuat Vonderkop bertekuk lutut pada Purnani. Sebelum kedatangan Purnani, Vonderkop selalu dijadikan bahan olok-olok warga sekitar Poedjon karena kejantanannya sangat diragukan. Bahkan tak sedikit mandor yang menggunjung di belakangnya. Bagaimana tidak? Keempat wanita yang disinyalir menemani tidurnya selama puluhan tahun, tak mampu memberikannya seorang anak. Namun semenjak Purnani tiba di desa itu, Vonderkop dipercaya sebagai orang pertama yang menghamili Purnani.
Awalnya penduduk desa tak percaya, inlander cantik yang baru datang dari Malang tiba-tiba dihamili oleh seorang Belanda Tua beusia lapuk dengan gigi depan yang terlihat jarang. Namun setelah bayi yang mendekam dalam rahim Purnani lahir, semua orang langsung percaya bahwa ayah dari bayi itu adalah Vonderkop. Wajah si bayi mungil sangat mirip sekali dengan papinya. Matanya lebar, hidungnya mancung, dahi selalu mengernyit, dan suara tangisnya keras. Memang menyeramkan apabila bayi lahir dengan wajah lebih dewasa, tapi itulah yang terjadi. Setiap melihat wajah sang bayi maka wajah Vonderkoplah yang muncul di wajah bayi itu.
Seiring berjalannya waktu, sudah belasan pengasuh bayi menjadi gila setelah mengasuh bayi Vonderkop, padahal usianya barulah lima tahun. Mereka tidak kuat, bahkan pengasuh terakhir dikabarkan tewas karena menceburkan diri ke sumur setelah memandikan si bayi. Waktu berjalan terus dan bayi itu tumbuh remaja. Tiga gundik dan istri sah Vonderkop pun tewas menegak racun bersama-sama. Mayatnya ditemukan di samping putra Vonderkop yang teler menegak miras. Masyarakat menduga, Vonderkop ingin membunuh istri dan ketiga gundiknya secara halus agar dia punya lebih banyak waktu dan perhatian bersama Purnani. Meskipun demikian, Purnani selalu diizinkan untuk berkegiatan dan berkencan dengan lelaki lain. Vonderkop sadar bahwa usianya semakin lama semakin tua dan selalu kuwalahan ketika beradu mesra dengan Purnani. Terlebih ia sudah puas karena telah berhasil memiliki anak bersama Purnani yang semakin lama semakin beranjak dewasa.
Dulu Purnani hanya minta satu hal pada Vonderkop. Ia ingin dibangunkan sebuah rumah megah dengan pilar berwarna perak, tepat di bawah kaki perbukitan Poedjon. Rumah itu bukanlah Rumah biasa. Terdapat pagar besi dengan jeruji seperti trisula di ujung-ujung pagarnya. Barang siapa yang hendak masuk tanpa seizin tuan rumah, pastilah kesulitan. Pernah ada seorang Veldpolitie (polisi) muda ketua perkumpulan motor Harley Davidson hendak mengencani Purnani. Kelakuannya yang tidak sopan membuat Purnani jengah. Pria itu pun berinisatif untuk memanjat pagar berujung trisula, namun nahas, ia mati terbakar setelah menyentuh salah satu ujung dari trisula pagar itu. Masih banyak lagi kisah lelaki terpanggang karena nekat menuruti nafsu syahwatnya ketika melihat Purnani. Meskipun suka berkencan dengan lelaki, Purnani tergolong wanita pemilih berselera tinggi.
Tak sembarang orang bisa menemui Purnani. Fotonya memang tersebar di berbagai pemberitaan, bahkan ia pernah sekali merelakan diri untuk menjadi iklan Jamu Koeat Tjap Koetjing Hitam milik Ko A-Ling yang tinggal Petjinan Kota Malang. Berkat iklan itu, Jamu milik Ko A-Ling laku keras dan dia mampu memiliki lima lapak di lantai dasar pasar besar. Salah satu kamar di villa Huize Justina bahkan dikhususkan untuk menyimpan foto Purnani. Konon katanya apabila ada tamu yang datang saat malam Jumat ke kamar itu, maka akan dicumbu oleh Purnani. Harga sewa setiap malam sungguh fantastis, 500-600 gulden. Padahal harga kamar reguler hanyalah 5-6 gulden saja. Otomatis hanya pejabat tinggi atau putra para pembesar VOC yang bisa menginap di sana. Sungguh luar biasa pengaruh yang diberikan oleh aura kecantikan Purnani.
“Sebenarnya siapa sih Purnani itu? Apa kau tahu? Dia kok tidak bisa tua ya?” ucap Darmanto pada Sutaji, dua jongos di daerah Poedjon saat melihat foto Nyai Purnani tersenyum di samping Jamu Tjap Koetjing Hitam.
“Eh lhadalah To, To, masak gitu aja ndak tahu toh To To! Purnani itu selir simpenan Tuan Vonderkop!” sentak Sutaji sembari menepuk pundak Darmanto.
“Hyungalah, kalau hanya sampai di situ ya aku tahu toh. Tapi yang kutanyakan itu sebenarnya siapa sebenarnya Nyai Purnani? Asal-usulnya, sanak kadangnya, kita kan ndak tahu To!” ucap Darmanto.
“Ah babahne wes To, mikir Purnani tambah ngelu sirahku. Wis-wis ayo ndang mlebu maneh nang kebun, methik i Rosemary iki!” kata Sutaji. Kedua jongos itu pun pergi dengan wajah penuh tanya.
Pertanyaan serupa sebanarnya tidak hanya mengendap di benak kedua jongos bersorjan kembar itu. Hampir semua orang dari semua kalangan menanyakan asal-usul Purnani. Wanita misterius yang fotonya terpampang jelas di salah satu kamar eksklusif villa Huize Justina itu tak henti-hentinya menjadi buah bibir masyarakat. Wajahnya yang rupawan bak Srikandi serta kebaya dan sanggulnya yang rapi, menambah penasaran warga akan keberadaan Purnani. Tak sampai di situ, rasa penasaran juga muncul dari gelar Nyai yang tersemat di belakang nama Puranani. Wajah Purnani sebenarnya masih sangat terlalu muda apabila dikatakan sebagai Nyai. Nduk saja rasanya pantas untuk memanggilnya. Namun tak satu pun ada orang yang berani menyebut Purnani dengan sebutan Nduk. Gelar Nyai yang tersemat di depan namanya serasa sudah menjadi bagian dari nama Purnani itu sendiri.
Jika menuruti tanda tanya yang menggumpal di kepala Surtarji dan Darmanto rasanya tidak ada habisnya, sebab tanda tanya itu bagaikan benang yang kusut lalu bertalian menggumpal menjadi satu dan tak tahu ujung pangkalnya. Namun yakinlah kelak waktu akan mengurai benang tanya itu sehingga jelaslah siapa sebenarnya Purnani itu.
***
Sekarang dara manis yang menjadi buah bibir Poedjon itu sedang membasuh dirinya di kolam pemandian terbaik yang dimiliki desa Poedjon, Kolam Pemandian Wihelmina namanya. Ritual mandi dilakukan setiap Sabtu malam Minggu. Saat Purnani mandi, tamu-tamu tak ada yang boleh masuk, kecuali mampu membayar dengan tarif fantastis. Kolam itu terbuat dari gabungan batu kali dan marmer dari Batavia Hulswit. Tepat di sisi utara kolam terdapat patung Prajna Paramita dengan air yang mengalir dari kedua buah dadanya. Purnani biasa membasuh rambutnya menggunakan air itu. Sesekali ia mengajak patung itu berbicara.
“Setelah ini ada satu tamu lelaki yang hendak mengunjungiku, tahukah kau siapa dia?”
Patung itu tak bergeming, tetap diam tak bersuara. Tapi kolam yang digunakan oleh Purnani untuk mandi tiba-tiba berubah warnanya. Kolam itu menjadi sebuah lukisan indah dengan gambar seorang serdadu rendahan yang diserang oleh babi hutan. Wajah pribumi terbersit jelas di raut muka serdadu itu. Tangan kananya bersimbah darah dan tangan kirinya mencabut salah satu gading babi hutan raksasa yang tepat menyeruduknya.
“Apa maksud dari lukisan ini?” tanya Purnani.
Tanpa disuruh, Purnani menutup kedua buah bola matanya lalu menenggelamkan diri ke dasar kolam. Tiba-tiba terdengar suara yang menggaung.
“Dia adalah laskar pribumi rendahan, kemampuan bertarungnya tidaklah baik sehingga dia hampir saja mati dan dibuang oleh teman-temannya di daerah Lebak Sari. Dia dikejar-kejar oleh macan kumbang dan terperosok ke jurang. Di situ dia bertemu dengan babi hutan yang hendak menyantap raganya. Beruntung baginya karena ia berhasil mencabut satu gading babi hutan itu!” ucap suara bernada berat itu dari dasar kolam.
Purnani menyembulkan wajahnya ke permukaan air untuk bernafas. Setelah memperoleh cukup udara ia berkata, “Lalu apa kaitannya denganku?”
Setelah bertanya demikian, kaki purnani selah masuk ke dasar kolam. Ada tangan yang menarinya untuk masuk kembali.
“Babi itu bukanlah Babi biasa, dia jelmaan penguasa di daerah Lebak Sari. Dia berjanji akan mengabulkan permintaan dari pemuda payah itu asalkan gadingnya dikembalikan lagi padanya. Pemuda itu minta agar dia diberi seorang anak yang tidak sesial dia. Parahnya, anak yang diminta adalah anak yang benar benar berasal dari benih yang dia tanam sendiri di rahim wanita yang berparas sempurna. Itulah sebabnya Babi Hutan itu memberi pertanda padamu bahwa kau akan didatangi tamu pagi ini. Kalau kau berhasil membantunya, bukan tidak mungkin kau akan diberi cempaka putih di pegunungan Lebak Sari. Konon cempaka itu mampu memperpanjang usia dan rona kecantikan bagi setiap wanita yang memakannya!”.
Mendengar penjelasan yang sangat detil itu, Purnani segera naik ke permukaan lalu keluar dari kolam. Ia segera menuju kamar di samping kolam untuk segera mengenakan kemben favoritnya. Kemben dengan motif batik blambangan, hadiah dari Vonderkop. Purnani juga menabur melati di ranjang kamar itu, lengkap dengan aroma dupa di sudut-sudut ruangan.
Tak lama kemudian, terdengar pelan suara pintu yang diketuk. Nyai Purnani merapikan sanggulnya. Dibukanya pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Dari balik pintu, terlihat seorang pemuda cungkring. Lusuh dan kumal lengkap dengan kumis tipis beserta jambang yang tak terawat. Purnani hanya tersenyum, ia menarik tangan kanan pemuda itu. Menyeretnya dengan manja ke kolam dan menceburkanya. Pemuda yang masih dipenuhi kebimbangan di dua buah kelopak matanya itu langsung saja tercebur ke air, tenggelam tak terlihat lagi hingga kolam begitu tenang. Namun, beberapa menit kemudian suara gemuruh muncul dari dasar kolam. Menyemburkan sesosok pria gagah perkasa. Pemuda yang tadinya terlihat lusuh kumal tak berdaya itu kini berubah menjadi gagah dan tampan luar biasa. Senyum purnani mengembang, ia tak sabar lagi untuk melayani tamunya yang satu ini.
Pria gagah itu menghampiri Nyai Purnani, memeluk, menggendongnya dan seketika itu air di kolam pemandian Whelmina seolah membuka jalan bagi mereka berdua. Pria itu membawa Nyai cantik jelita ke ranjang bak pengantin baru. Sesampainya di rajang, hanya rintihan dan kepak sayap burung kedasih yang dapat terdengar ketika pintu ditutup dengan rapat.
Pergumulan itu berlangsung hingga ayam berkokok menyambut pagi. Pria yang tadinya gagah berubah menjadi kurus kering kembali setelah melewati fase-fase madu dunia bersama Purnani. Sedangkan Purnani, ia msih terlihat sintal dan segar bak drakula yang puas meminum darah pemuda. Meskipun demikian, Purnani cukup risau. Gurat cemas dan gundah terbersit jelas dari kerutan di dahinya. Satu hal yang ditakutinya yaitu bahwa kelak apabila benih yang ditanam oleh pria ini membuahkan hasil, ia akan bernasib seperti anak-anak Purnani lainnya. Khususnya keempat anaknya yang terakhir. Ya, keempat anak itu adalah anak yang hebat, sukses, dan menjadi pembesar di daerahnya masing-masing. Sayang sungguh sayang, mereka terlibat perkelahian demi kekuasaan sehingga membuat Purnani miris hatinya. Hanya itu takdir yang tak mampu ditolak oleh Purnani. Ia juga tidak mau punya anak sesial anak yang dikandungnya dengan Vonderkop. Anak yang kini dikabarkan korup dan menghabiskan harta bapaknya.
Melihat kegundahan Purnani, lelaki yang baru saja menjajah tubuhnya itu mendekap Purnani. Kini lelaki itu tak lagi memiliki daya tarik sedikitpun. Purnani risih, ia mengibaskan lelaki itu ke sudut kamarnya hingga patah seluruh tulang punggungnya.
“Aku yakin kau pasti tak becus membesarkan anak kita, itulah sebabnya aku ingin Babi Ireng di Lebak Sari saja yang membesarkan anak kita ketika dia lahir kelak. Sebagai Bapaknya, kau cukup tahu bahwa kau bisa memiliki anak dari aku yang kau cintai selama satu malam purnama!” sentak Purnani pada lelaki yang kini meringkuk di hadapanya.
Lelaki itu tak mampu berkata apa-apa. Alih-alih mengumpat, dari mulutnya saja keluar lendir putih diikuti dengan erangan panjang. Memang nahas nasibnya, nyawa pun terenggut setelah ia mengerang empat kali. Purnani kembali berenang di kolam pemandian Whelmina hingga malam kembali datang. Ia tak ingin benih yang ditanam lelaki biadab itu berkembang biak dan beranak pinak. Itulah sebabnya ia kembali moksa, melayang ke atas rembulan yang seketika itu merah memanas.
Penduduk desa Poedjon dan sekitarnya menatap fenomena itu dengan teramat takjub, hewan-hewan yang selama ini berdiam di kaki kaki gunung tiba-tiba keluar menatap fenomena langkah itu. Macan kumbang adalah hewan yang mendominasi di sana. Mereka turun ke perkampungan, berbaur bersama penduduk yang sedang mendongakkan kepalanya ke atas.
Dari kejauhan terlihat satu demi satu pakian Purnani jatuh sementara raganya masih terus beranjak menggapai bulan. Dengan teramat cekatan, Purnani tiba tba berbalik posisi. Kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Dia mengarahkan goa garbanya ke arah rembulan. Perlahan tapi pasti, goa garba itu membesar dan rembulan yang ada di hadapanya tersedot ke arah Purnani.
Warga menjadi amat sangat panik. Angin dan petir saling bersahut sahutan, sementara suasana semakin muram. Rembulan yang digadang-gadang mampu memantulkan cahaya, kini malah terserap oleh goa garba Nyai Purnani. Perlahan tapi pasti rembulan pun seutuhnya telah diserap oleh gua garba Nyai Purnani. Malam itu benar benar gelap, tak ada satu cahayapun dan angin semakin kencang.
Warga berhamburan, hewan hewan berlarian tak tahu arah. Angin semakin kencang dan petir tanpa cahaya menyalak-nyalak bagai auman naga yang kelaparan. Gua garba Purnani terlihat mulai bercahaya. Rembulan yang ditelannya ternyata semakin memanas. Di tengah hiruk pikuknya Poedjon malam itu, Purnani berteriak.
“Wahai rembulan yang ada dalam diriku, hancurkanlah rahimku berkeping keping! Biarkanlah nafsu birahi dan segala wujud kemaksiatan ini tak hanya aku sendiri yang menanggungnya!” setelah berucap demikian, cahaya bulan dalam tubuh Purnani naik ke atas rahim, berputar-putar seperti gasing dan meledak.
Seluruh daerah di desa Poedjon dan sekelilingnya pun tumpah ruah. Warga sekitar dan seluruh hewan buas sirnah seketika. Tubuh purnani pecah menjadi rintik hujan. Cuaca berubah menjadi teramat terik, dengan pemadangan yang terlalu lengang di bawahnya. Banyak manusia dan hewan liar menjadi batu terkena cipratan hujan dari pecahan tubuh Purnani.
Di sisi lain, benih-benih yang terlempar dari rahim Purnani ternyata tumbuh subur di tanah tanah yang telah gembur itu. Mereka menjadi tunas tunas baru dan berbuah bayi manusia. Kelak, bayi-bayi inilah yang hidup, tumbuh, dan besar di tempat ini. Dia mengembangkan desa yang telah terkutuk itu menjadi sebuah tempat yang amat menakjubkan. Ikon patung Macan Kumbang dijadikan simbol tempat itu sehingga sering kali disebut dengan Gang Macan.
Gang itu memang tampak seperti jalanan biasa, tapi tak jarang dari jalanan itu tercium aroma gua garba nyai Purnani. Hingga kini jalan itu sangat terkenal. Bahkan ada hukum tak tertulis yang telah diketahui oleh warga sekitar. Bagi sepasang manusia yang baik sengaja maupun tak sengaja menghirup aroma gua garba Nyai Purnani, maka ia akan berhenti dan melakukan segala ritual cinta yang telah dilakukan oleh Purnani, bertahun-tahun silam. Bau itu bisa mengena pada siapa saja, termasuk padamu juga. Jika engkau tak percaya, cobalah lewat di gang itu bersama kekasihmu, diamlah sejenak dan rasakan aroma gua garba Nyai Purnani. (*)
Penulis lahir di Malang 17 Mei 1992
Bergiat di Komunitas Pelangi Sastra Malang dan
Komunitas Sejarah Roodeburg Soerabaia