Haji Rasul, Sang Pembela Qunut Subuh

new york tugu jatim
Wahyu Muryadi saat jadi pembicara Haul Gus Dur yang diselenggarakan Tugu Media Group di UIN Malang beberapa waktu lalu. Foto: dok Tugu Media Group

Oleh: Wahyu Muryadi

Tugujatim.id Ini ulasan singkat kitab Arab Melayu karya Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka yang bernama lengkap Haji Abdul Karim Amrullah (nama lahir: Muhammad Rasul, 10 Februari 1879). Dia adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Dia juga merupakan pendiri Sumatra Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Sedangkan Buya Hamka pastilah banyak yang sudah paham. Nama kompletnya Prof Dr H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, seorang ulama besar, sastrawan, dan wartawan yang lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908.

Bukunya tipis, hanya 52 halaman. Selain substansi yang ditulis menarik, buku ini bisa melengkapi kitab fiqh Muhammadiyah jilid telu tulisan Arab pegon terbitan Yogyakarta yang pernah saya ulas tempo hari.

Judul bukunya: al Syir’ah fi Radd man Qala al Qunut fi al Shubh Bid’ah wa Anna al Jahr bi al Basmallah Bid’ah Aidan. Artinya: syariat menolak orang yang mengatakan Qunut Subuh bid’ah dan menjaharkan /membaca keras Bismillah bid’ah. (Boekhandek & Drukkerij Tsamaratoel Ichwan, Fort de Cock, Bukittinggi, 1938).

Menukil sejumlah dalil berupa hadis dan qaul fuqaha, Haji Rasul menegaskan bahwa qunut Subuh tidak bid’ah, malah sunah jika diamalkan. Begitu pun menjaharkan (mengucapkan secara jelas) bismillah dalam salat rawatib Magrib, Isya, dan Subuh.

Sebab itulah ketika Prof Mahmud Yunus (ingat buku Tafsir Mahmud Yunus?) dan Buya Datuak Palimo Kayo ketika diundang ke madrasah al Manar Batu Hampar Payakumbuh, Sumatera Barat, menurut kesaksian Abuya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno, pimpinan madrasah itu, saat mengimami salat Subuh keduanya berqunut.

Buya Datuak Palimo Kayo adalah seorang ulama besar, juga diplomat dan pemuka adat. Bersama Buya Hamka sahabatnya, keduanya menggagas pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majalah Tempo tanggal 23 November 1985 menulis, Buya Datuak meninggal dunia di RS Dr Mohammad Jamil Padang, pada 17 November 1985 setelah sakit karena pendarahan otak. Dia dimakamkan di Pemakaman Tunggul Hitam. Kepergiannya meninggalkan kesedihan mendalam bagi masyarakat Sumatera Barat.

Buya Hamka ternyata juga berqunut. Saat didaulat menjadi imam Subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang, dia mengangkat kedua tangannya di rakaat terakhir setelah ruku’ dan sebelum sujud. Berqunut Subuh ini perkara yang selama ini kerap diidentikkan dengan praktik kaum sarungan di NU yang dianggap bid’ah.

Begitulah indahnya menjalankan ajaran agama bermahkotakan ilmu. Ditambah lagi dengan sikap tasamuh, tenggang rasa yang luhur, seperti diamalkan sebagai suri teladan yang dicontohkan para pahlawan nasional dan ikon penting dan ulama masyhur Muhammadiyah itu.

Dus, bercerminlah pada mereka…

*Pembicara Haul Gus Dur yang diselenggarakan Tugu Media Group di UIN Malang.