SURABAYA, Tugujatim.id – Praktik pembajakan buku masih banyak ditemui di era kontemporer, apalagi majunya teknologi digital membuat pembajakan buku kian hari kian subur saja, baik untuk buku cetak maupun elektronik. Sedangkan penegakan hukum yang meregulasi soal hak cipta, tidak dapat berkutik sedikit pun. Dalam giat melawan pembajakan, Pengurus Bidang Humas dan Hukum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jatim Dr Jonaedi SHI MH menegaskan bahwa pembajak buku mengakses bebas produk buku yang dijual Google Book dan Google Play, lantas mencetak dan menjual ulang.
“Sekarang era digital, memang praktik-praktik pembajakan buku itu masif karena keterbukaan informasi digital. Mereka bisa mengakses dengan leluasa, bisa beli lewat Google Book atau Google Play yang dibeli digital, lalu dibajak,” terang Dr Jonaedi pada Tugu Jatim melalui daring Selasa (25/05/2021).
Jadi, untuk merespons persoalan pembajakan buku semacam itu, IKAPI Jatim perlu mengedukasi dan menyosialisasikan pada masyarakat terkait jual-beli buku bajakan yang dilarang, hingga nilai-nilai tak menghargai hak cipta penulisnya.
“Langkah penting yang perlu dilakukan IKAPI Jatim, mengedukasi para pembaca atau masyarakat tentang perbukuan, khususnya di Jatim. Bagaimana kita menghargai penulis dan menghargai penerbit,” sambungnya.
“Nah, dua poin itu menjadi penting agar masyarakat sadar bahwa apa yang dilakukan oleh pembajak buku adalah tindakan yang tidak sama sekali menghargai para penulis dan penerbit,” imbuhnya.
Dr Jonaedi percaya, bila mulai menggiatkan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat untuk tidak membeli atau menikmati murahnya buku bajakan, penjual-penjual dan oknum buku bajakan akan berhenti dengan sendirinya.
“Nah, ini kalau ada edukasi yang dilakukan secara masif, kemudian masyarakat sadar, lambat laun aktivitas pembajakan buku (semacam itu, red) bisa diminimalisasi,” ujarnya pada Tugu Jatim.
Penegakan Hukum Perbajakan Buku
Perlu diketahui oleh pembaca, Dr Jonaedi menegaskan bahwa sudah ada UU yang mengatur terkait hukuman yang diberi pada pembajak buku. Dr Jonaedi mengatakan, semua bentuk regulasi dan hukuman sudah tertulis rapi, tapi masih saja banyak oknum yang mencari peruntungan di pembajakan buku.
“Sebenarnya undang-undang terkait pembajakan itu sudah ada, sudah lama sekali UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, di mana ancaman hukuman untuk para pembajak itu kan hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp 500 juta,” jelasnya.
Selain itu, Dr Jonaedi mengatakan, sisi lemah dari ekosistem perbukuan yakni terkait penegakan hukum pada oknum-oknum pembajakan buku. Hal itu juga membuat Dr Jonaedi heran, apakah barang bukti yang membuat sulitnya hukum pembajakan buku itu ditegakkan.
“Tapi, lemahnya itu di aspek penegakan hukumnya kalau saya lihat, aturan hukum memang ada, tapi aturan ini tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal, terutama untuk pembajakan buku,” jelasnya.
“Nah, saya kurang memahami kenapa para penegak hukum ini cenderung kesulitan dalam penegakan hukum di pembajakan buku. Setahu saya yang juga praktisi di bidang hukum barangkali ini sulit menemukan alat bukti yang secara nyata buku bajakan itu dilakukan oleh para pelaku, kemudian juga mungkin kurang laporan dari penerbit terkait buku bajakan,” imbuhnya.
Seharusnya penegak hukum dan penerbit buku memiliki sinergi satu sama lain. Agar kasus-kasus pembajakan buku, Dr Jonaedi menjelaskan, dapat diselesaikan dan ditegakkan dengan mudah dan adil.
“Karena rata-rata ini kalau sepengetahuan saya, para penerbit itu malas melakukan laporan terkait buku-buku mereka yang dibajak sehingga seharusnya memang ada sinergi antara penegak hukum dan penerbit,” tuturnya.