Oleh: Ach Dhofir Zuhry*
Tugujatim.id – Bechi ketitk ala ketara adalah plesetan dari ajaran klasik Jawa: Becik Ketitik Ala Katara yang maknanya lebih-kurang adalah segara bentuk kebaikan kelak akan menemukan jalannya dan tercium wanginya.
Pun juga kejahatan, sepandai-pandai menutup bangkai akan tercium juga. Sepandai-pandai tupai melomoat akhirnya jalan kaki juga dan meringkuk di tahanan pula.
Kasus ini ngeri-ngeri tak sedap, berdasarkan data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan periode 2015-2020, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas. Tak menutup kemungkinan ini fenomena es cendol, maksud saya gunung es.
Pesantren dan lembaga pendidikan agama lambat-laun (setelah dicitrakan sebagai sarang teroris) menjadi sarang para predator anak. Karena nila setitik rusak susu Sebelanga. Karena Herry Wirawan (HW), Julianto Eka Putra (JEP) dan Bechi setitik merusak citra pesantren dan sekolah se-Indonesia Raya.
Demikian akhir pelarian sang DPO, anak kiai Pesantren Shiddiqiyah ini puncaknya tertangkap juga setelah viral video jihad pembelaan dari para relawan Shiddiqiyah, plus drama pengepungan selama 15 jam di markasnya yang tak lain adalah pesantren ayahnya sendiri.
Entah sudah sekian purnama korps penegak hukum gagal menyeret sang predator selangkangan ke jeruji besi. Sudah gonta-ganti Kapolres, bahkan Kapolda, tak mempan juga menerobos barikade sang DPO, dihalangi ratusan warga, ribuan simpatisan dan santri.
Bahkan, polisi mendapatkan intimidasi dan kekerasan, termasuk dari sang ayah Bechi sendiri, yakni kiai MM yang terang-terangan pasang badan melindungi sang penjahat kelamin saat hendak digelandang pihak berwajib.
Nyaris sama dengan penangkapan JEP, siluman kelamin lebih dari 40 siswi SMA, motivator sekaligus pendiri sekolah SPI Batu yang juga dilindungi keluarganya dan bahkan oknum aparat.
Ada sebilah tanya menyeruak dalam dada masing-masing kita: Mengapa banyak pihak justru seolah bekerja sama menjadi relawan untuk melindungi sang begal kelamin, perusak masa depan perempuan yang tak lain adalah santri-santri Bechi sendiri, murid-murid JEP dan HW sendiri bahkan sebagian besar yatim-piatu?
Bukankah puluhan santriwati/siswi yang dicabul-mesumi secara ugal-ugalan serta dirudapaksa itu berangkat dari rumah dengan tujuan ingin manjadi baik, lha kok malah di rusak oleh putra sang Kiai, oleh guru dan sang motivator perompak kelamin?
Nah, pada denyut ini berlalu dua hukum moral dari Kant, yakni: “bertindaklah sedemikian rupa hingga ketika orang-orang mengikutimu, dunia akan menjadi lebih baik!” atau “bertindaklah sedemikian gila hingga manakala orang-orang di sekelilingmu mengikuti, dunia akan semakin kacau!”.
Kelihatannya Bechi, JEP, HW, dll juga para pendukungnya, berada pada posisi/hukum moral terakhir. Bechi Ketitik Ala Ketara, Bechi Ketitik Setan Ketawa.
Nun di balik pencitraannya sebagai pemuka agama dan pengasuh pesantren, ternyata banyak fakta mengejutkan di balik sosok asli sang begal kelamin, contoh kasus Bechi, sekaligus wakil Rektor dan pemilik perusahaan rokok ST, mewajibkan santriwatinya merokok.
Sang predator kelamin juga mendaku boleh menikahkan dirinya sendiri dengan perempuan manapun yang ia sukai, termasuk alien, hehe. Ia juga merayu dan bahkan mamaksa korban untuk dirudapaksa (saya tidak sependapat menggunakan kata digagahi, karena gagah konotasinya positif) dengan pendekatan musik dan ilmu metafakta.
Tak kepalang tanggung, semua jemaah/simpatisan yang tadinya loyalis tapi kemudian menyeberang, segera distempel sebagai “gerombolan” yang diboikot usahanya, difetakompli gerak-geriknya, diintimidasi oleh para relawan robot sang penyamun kelamin.
Malah pengakuan seorang karyawati bank swasta di Jombang, terpaksa dikeluarkan oleh pimpinan karena diancam oleh Bechi bahwa semua uang nasabah/jemaah Shiddiqiyah akan ditarik bila si karyawati yang dicap gerombolan tidak dipecat. Wuih…
Oleh karena setiap filsuf tak hanya memiliki visi agung tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kebenaran, maka MSAT alias Bechi, JEP, HW, dan predator sebangsanya—yang dengan relasi kuasa—memperdaya belasan santriwati dan siswi demi memuaskan hasrat pribadi yang tak ada ujungnya, sekali lagi, sepupu jauh saya, Immanuel Kant, mengingatkan:
“Bahwa orang-orang yang menduga mampu menerabas segala batasan dan norma, bertindak tanpa batas demi gelegak nafsunya, ia sedang menjerumuskan dirinya pada pseudo kebahagiaan, kepuasan palsu, suka-cita semu yang justru merendahkan martabat eksistensinya.”
Eksesnya, sang juru mesum profesional terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya, memerdaya untuk menyamarkan tipu-daya sebelumnya, demikian seterusnya menghalalkan segala cara untuk mencabuli sekian santriwati/siswi yang tak berdaya karena relasi kuasa dan hegemoni wibawa hingga sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jalan kaki juga, becik ketitik ala ketara, Bechi ketitik ala ketara.
Lain halnya, masih dalam pandangan sepupu jauh saya, jika kita bertindak demi orang lain sepenuhnya setulusnya, kadang tampak menyiksa diri, sebagai permisalan: mangajar tanpa dibayar laiknya para Kiai yang saleh, menolong tanpa pamrih, menerima orang lain dan siapapun yang berbeda sebagaimana adanya.
Inilah kasih tak bersyarat. Inilah tindakan yang layak, unik, tak ternilai, menerabas batas personal tapi mengindahkan batas-batas sosial. Inilah tindakan baik yang das ding an sich, ini komitmen kemanusiaan, ini komitmen spiritual. Inilah kabahagiaan.
Sekali lagi, karena kebahagiaan yang timbul dari perbuatan baik bukanlah sesuatu yang turun dari langit, maka kita harus dengan tekun mengupayakannya.
*Penulis adalah pengasuh pondok pesantren Luhur Baitul Hikmah Malang sekaligus pendiri STF Al Farabi.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim