JAKARTA, Tugujatim.id – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (
Kemendikbud) RI menegaskan bahwa
Asesmen Nasional (AN), pengganti Ujian Nasional (UN) bukan tes untuk melihat potret pendidikan di garis akhir saja, melainkan secara keseluruhan yang lebih komprehensif. Tak hanya itu, maksud tujuan AN sendiri bukanlah untuk mengevaluasi individu seorang murid, melainkan melihat mana yang perlu diperbaiki usai asesmen tersebut.
Koordinator Analisis dan Pemanfaatan Hasil Penilaian Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemendikbud, Dr. Rahmawati mengibaratkan jika sebelumnya, Ujian Nasional (UN) lebih seperti ‘pacuan kuda’ di mana penilaiannya yaitu siapa yang lebih dulu mencapai garis finis. Namun, pada Asesmen Nasional, pendidikan dilihat secara menyeluruh.
“Jika kita biasanya melihat siapa yang sampai garis finis dahulu, siapa yang tercepat, siapa yang unggul. Sekarang kita ingin tahu karakter dari penunggangnya, cara joki menunggang, cara makannya (kuda,
red). Itu sebelumnya tidak terpotret. Sistem pendidikan bukanlah sebuah ajang pacuan,” beber Rahmawati menjelaskan di ajang diskusi secara virtual yang digelar oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) melalui Zoom, Kamis (11/2/2021) sore.
Menurutnya, Asesmen Nasional merupakan sebuah reformasi untuk lebih bisa melihat sistem pendidikan nasional dan kekurangannya agar bisa dievaluasi.
“Ini adalah bentuk reformasi pendidikan khususnya di sistem evaluasi pendidikan,” lanjut Rahmawati.
“Kita itdak menginginkan memotret suatu sistem pendidikan dari hasil belajar siswanya. Tetapi kami ingin memotong secara utuh. Yang diukur tidak hanya
output, tapi diukur secara komprehensif. Ada
input-nya, ada prosesnya, ada hasil belajarnya,” beber Rahmawati.
Asesmen Nasional Apa Sudah Berpihak Kepada Anak?
Lalu, apakah Asesmen Nasional sudah berpihak bagi kepentingan anak? Kepala Peneliti PSPK, Anindito Aditomo menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kriteria.
“Kebijakan pendidikan dapat dianggap berpihak kepada anak ketika kebijakan tersebut memperhatikan dan mementingkan kebutuhan belajar dan perkembangan anak,” jelas Anindito Aditomo.
Ia menjebarkan bahwa kriteria yang dimaksud yakni pertama, kebijakan tersebut dapat mendorong guru memperbaiki cara ajar; kedua, kebijakan dapat mendorong guru untuk berfokus pada pengembangan kompetensi yang berguna bagi semua siswa dalam jangka panjang; dan ketiga, kebijakan yang tidak membebani anak dengan tes-tes yang dibuat untuk kepentingan pemerintah.
Pihaknya menyatakan bahwa dengan adanya AN tersebut diharapkan bisa menciptakan sistem pendidikan yang berpihak kepada anak. Ia mencontohkan bahwa dengan dihapuskannya UN, maka siswa bisa lebih fokus ke perguruan tinggi.
Selain itu, ia menilai bahwa siswa yang terpilih untuk mengikuti Asesmen Nasional tidak perlu cemas, karena nilainya tidak akan diketahui siswa.
“Jadi peserta AN kalaupun terpilih menjadi peserta, tidak perlu cemas dan tak perlu juga mempersiapkan diri. Seharusnya tidak mengganggu proses pembelajaran,” imbuhnya.
Untuk diketahui, Asesmen Nasional nantinya akan menggunakan sistem sampel di mana yang mengikuti adalah siswa kelas 5, 8, dan 11 di setiap sekolah atau madrasah.
Tantangan Risiko saat PPDB dan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi
Meski demikian, Anindito Aditomo menyatakan bahwa masih terdapat beberapa risiko dari Asesmen Nasional. Salah satunya adalah terkait keselarasan dengan kriteria seleksi PPDB dan seleksi masuk perguruan tinggi yang masih menggunakan tes atau bisa dikatakan hanya melihat hasil akhir.
“Seleksi didasarkan pada tes yang berorientasi konten, sehingga guru dan siswa juga tetap berorientasi pada konten,” jelas Anindito Aditomo.
Kapasitas guru dan sekolah dalam menerapkan evaluasi hasil belajar siswa merupakan risiko kedua untuk penerapan Asesmen Nasional.
“Rapor sekolah dipandang tidak bisa diperbandingkan, sehingga daerah mengisi ‘lubang’ ini dengan mengadakan ujian-ujian daerah,” ujarnya khawatir.
(Gigih Mazda/gg)