SURABAYA, Tugujatim.id – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menerima laporan adanya surat pemanggilan terhadap BEM Universitas Indonesia (UI) yang dikaitkan dengan kritik terhadap Presiden Jokowi dengan poster “The King of Lip Service”.
Selain itu, ada meme bertuliskan “Katanya Perkuat KPK Tapi Kok?”, “UU ITE: Revisi Untuk Merepresi (?)”, “Demo Dulu Direpresi Kemudian”, dengan disertai gambar, keterangan, yang viral melalui media sosial, bahwa pihak UI sangat menghargai kebebasan menyampaikan pendapat.
Di sisi lain, Ketua KIKA Dr Dhia Al-Uyun menegaskan, dalam Surat Undangan Nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 Universitas Indonesia mengundang mahasiswa yang menjadi bagian dari BEM UI dan DPM UI yang berjumlah 10 orang.
“Pemanggilan tersebut dilakukan untuk melakukan klarifikasi atas postingan berupa poster yang diunggah pada akun BEM UI yang mencantumkan foto Joko Widodo yang dipublikasikan pada 26 Juni 2021, sekitar pukul 18.00 WIB, yang membahas terkait janji-janji kebohongan Presiden Joko Widodo,” terangnya, Senin (28/06/2021).
Setelah memelajari konten yang disampaikan BEM UI, Dr Dhia menjelaskan, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipertimbangkan:
(1) Meme dengan gambar/foto, disertai keterangan, pertanyaan, merupakan ekspresi kritik biasa dalam suatu negara demokrasi. Hal tersebut dihasilkan dari proses pemikiran kritis mahasiswa atas situasi sosial politik yang terjadi di masa Pemerintahan Jokowi. Terlebih hal ini berkaitan dengan pelemahan KPK yang terjadi saat ini.
(2) Ekspresi kritik yang dialamatkan kepada Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia adalah hal yang harus dilindungi karena Jokowi merupakan pejabat publik, yang memungkinkan mendapat kritik, terlebih Pasal KUHP terkait Penghinaan Presiden telah dihapuskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (vide: putusan MK Nomor 013-022/PUU- IV/2006).
(3) Ekspresi aksi BEM UI merupakan ekspresi seni gambar/foto yang menjelaskan posisi kritiknya atas kebijakan-kebijakan yang selama ini terjadi di pemerintahan Jokowi, tidak bersifat fitnah, bukan kabar bohong, dan bukan pula merendahkan martabat kemanusiaan atas dasar SARA sehingga ekspresi tersebut harus dilindungi secara hukum.
Dalam mengembangkan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan akademik di Indonesia, Dr Dhia menegaskan, perlu menegaskan prinsip-prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017), terutama prinsip ini.
“Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan,” jelasnya.
“Serta dalam prinsip otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik,” sambungnya.
Atas dasar demikian, Dr Dhia mengimbuhkan, maka KIKA menegaskan otoritas publik, tak terkecuali pihak manajemen universitas untuk menghargai pemikiran kritis mahasiswa sebagai insan akademik untuk mengembangkan ekspresinya.
Sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia atau kebebasan ekspresi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Ayat 3 ICCPR (ratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005) dan doktrin hukum pembatasan sebagaimana disebutkan dalam Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights.