SURABAYA, Tugujatim.id – Masih membahas soal hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengenai kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis yang digelar Sabtu (16/01/2021). Perwakilan Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) Justitia Avilaveda turut berpendapat bahwa hasil survei yang dilakukan kepada 34 koresponden yang berasal dari jurnalis ini adalah masalah besar yang tidak satu pun orang berani menyuarakan.
“Saya ada beberapa catatan. Buat saya hasil survei ini seperti ada masalah yang besar sekali di dalam ruangan, kami ada di ruangan itu tapi tidak ada satu orang yang berani melaporkannya,” jelas Veda kepada pewarta Tugu Jatim melalui channel YouTube AJI Jakarta, Sabtu (16/01/2021).
Dia merasa hal tersebut seperti mengonfirmasi berbagai cerita yang dia dengar dari rekan-rekan wartawan. Hasil surveinya bisa dipakai untuk data tambahan sebagai modal awal menyusun standart operating procedure (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis.
“Ini mengonfirmasi semua cerita yang kami dengar. Buat saya, ini hal yang penting bahwa fenomena itu memang ada. Ini bukan hal yang sulit untuk membayangkan relasi kuasa antara jurnalis dan narasumber serta jurnalis dan atasannya sendiri,” imbuh Veda menanggapi hasil survei AJI Jakarta.
“Ketika jurnalis perempuan bertemu dengan pejabat publik ya, kondisinya inferior karena posisinya sedang butuh data dari narasumber. Saya pikir harus disokong komitmen oleh kantor itu sendiri, belum lagi soal relasi kuasa antara jurnalis dan atasannya sendiri,” tutur delegasi KAKG tersebut mengenai situasi kasus kekerasan seksual di lapangan.
Kasus yang begitu rumit. Banyak terjadi di kantor mengenai kekerasan seksual, termasuk di perusahaan media. Namun, sebagian besar wartawan perempuan tidak berani melaporkannya. Padahal, KAKG bisa menjadi tempat untuk membantu melakukan pendampingan.
“Ini buat saya hal yang rumit, banyak terjadi di kantor. Tidak hanya di industri media, tapi banyak macamnya. Tapi menyedihkan, sedikit sekali aduan jurnalis yang masuk ke KAKG bila dibandingkan dengan industri media lain,” lanjutnya.
KAKG merasa putus asa bila kasus kekerasan seksual dilaporkan ke polisi. Sebab, menurut dia, banyak kasus yang akhirnya tidak terselesaikan dan belum memperoleh keadilan. Sehingga perlu kepekaan dari kantor media untuk membantu menangani kasus ini.
“Sebetulnya kami hopeless ya kalau melapor ke kantor polisi, tapi mereka mencoba melapor ke kantornya sendiri. Jadi, lebih menyedihkan lagi kalau kantor tidak responsif dalam menangani kasus kekerasan seksual ini,” terang perempuan yang mengenakan baju hitam dan berkacamata itu.
Sedangkan penyusunan SOP sendiri merupakan salah satu langkah awal dan solusi untuk menangani kasus kekerasan seksual. Dengan dirilisnya hasil survei AJI Jakarta mengenai kekerasan seksual di kalangan jurnalis, bakal membantu mempermudah data yang diperlukan untuk membuat SOP.
“Menurut saya, SOP harus dibuat rinci. Ketika ada aduan perlu rujukan yang jelas soal psikologis, pemulihan secara psikis sebelum mengambil tindakan apa pun sebelum menuju ke jalur hukum. Kami dari KAKG bisa menjadi tempat untuk melapor soal kasus kekerasan seksual yang dialami teman-teman jurnalis,” ujar Veda pada pewarta Tugu Jatim.
Perlu dibuat SOP secara rinci, termasuk dalam pendampingan psikologis penyintas karena perlu diberi pendampingan terlebih dahulu dalam proses pemulihannya. KAKG bisa menjadi tempat melapor berbagai kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual di kalangan jurnalis. (Rangga Aji/ln)