MALANG – Universitas Raden Rahmat (Unira) Malang menggelar webinar untuk mengkaji kembali kebijakan Mendikbud, Nadiem Makarim, Sabtu (8/8/2020) kemarin. Sejumlah tokoh pendidikan dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah itu mencoba mengkritisi Program Organisasi Penggerak (POP) yang kontroversial.
Untuk diketahui, PP Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mundur dari peserta POP yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan harapan menghadirkan penggerak organisasi di dalam sekolah. Mundurnya 2 lembaga besar yang kemudian viral di masyarakat dinilai wajar oleh beberapa pengamat kebijakan pendidikan.
Pada kesempatan itu, Unira menggelar webinar dengan pembicara Rektor Unira Dr Hasan Abadi M. AP; Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Poncojari Wahyono, M.Kes, dan Suhardin dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Pengamat Konsultan Pendidikan Indonesia dalam webinar bertajuk Pesantren Talk Series Dilema Program Organisasi Penggerak ( POP) Antara Kebijakan dan Realita.
Dr Hasan Abadi M. AP Rektor Unira menyebutkan jika cara berfikir kita hari ini, bagaimana kita mencerdaskan bangsa. Tetapi hari ini, persoalan terkait dengan kebijakan yang tidak bijak sebab antara perencanaan dan implementasi tidak sesuai.
“Saat ini, perencanaan dan implementasi itu tidak seindah warna aslinya. Oleh sebab itu saya mengkritisi kebijakan Mas Mentri (Nadiem) terkait dengan program organisasi penggerak. Sebenarnya ada beberapa bagian program yang lama namanya Lembaga Penyelenggaran Diklat (LPD) yang diikuti oleh kepalas sekolah,”ujarnya.
Pendidikan seakan hanya berorientasi pada dunia usaha dan industri. Padahal pendidikan merupakan proses menjadikan manusia seutuhnya. Pendidikan bukan hanya proses transformasi teknologi tetapi membangun bagaimana menjadi sisi tertentu.
“Dalam pendidikan ada 3 proses menjadi lebih baik, tranformasi teknologi dan sains, tarbiyah proses lingkungan,” ucapnya.
Hasan menyebutkan jika saat ini mengalami beberapa fase pendidikan di antaranya ekspetasi terlalu tinggi bahwa kita akan dibawa menjadi perahu cepat yang bisa membawa mengubah cara pandang terhadap teknologi. Sementara itu, untuk saat ini kita mulai merasakan fase kritis di mana kebijakan yang dianggak baik namun tidak bagi semuanya.
Rektor Unira yang juga perwakilan dari NU memandang Kemendikbud harus mencari skema terbaik agar program Organisasi Penggerak tidak menimbulkan polemik. Perlu adanya penataan ulang dilakukan oleh Kemendikbud terkait pola rekrutmen.
Dalam hal ini, NU memiliki 2 sikap yaitu mendukung dan menolak POP dalam artian mendukung jika adanya evaluasi total terhadap pelaksanaan POP. Namun, untuk saat ini NU menarik diri dari organisasi Kemendikbud.
“Kami mengundurkan diri sampai saat ini jika masih tidak ada perubahan, dan sikap dukungan kami jika adanya evaluasi total terhadap pelaksanaan POP dilihat track record organisasi, kemudian standart integritas, transparansi,” bebernya.
Selain itu, Dr Poncojari Wahyono, M.Kes Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeristas Muhammadiyah Malang menyikapi kebijakan tersebut untuk program organisasi penggerak, barangkali program ini sangat bagus karena memang bagusnya itu karena beda dengan program yang sudah ada. Dengan mencoba mengkreasi yang baru walaupun sebenarnya yang lama sudah bagus.
“Saya kira bagus tetapi perlu digaris bawahi proses itulah yang kemudian menyebabkan perekrut menang keputusan yang membuat kegaduhan di tingkat nasional mungkin yang tidak pernah diprediksi, mungkin Mas Menteri tidak pernah belajar di Indonesia jadi bagaimana peran NU peran Muhammadiyah PGRI begitu besar di dunia pendidikan tidak terlalu faham,” katanya.

Dia menambahkan dengan adanya dana yang begitu besar, Kemendikbud seharusnya lebih mengutamakan pendidikan yang sampai saat ini menggunakan daring.
“Ya, seharusnya lebih memperhatikan anak-anak selama proses belajar daring kenapa justru sebenarnya dana yang akan dianggarkan untuk pop lebih dimanfaatkan untuk oprasi memperluas jaringan, uang POP dikembangkan untuk ke sana. Mending Kemendikbud kerja sama dengan Telkomsel atau apa, karena infrastruktur tidak hanya dipakai sekarang saja bisa jadi untuk pengembangan ke depan. Sebenarnya eman-eman (disayangkan, red) ngeri sekali ketika membuat kebijakan analisisnya nggak dalam coba kalau itu benar diperhitungkan secara jelas,”ucapnya.
Muhammadiyah pun sampai saat ini telah mengundurkan diri dari keanggotaan tersebut, sebab sejak awal muncul melihat beberapa lembaga yayasan yang kredibilitas untuk menyelenggarakan peningkatan kualitas pendidikan tidak jelas.
“Lebih baik kita mengundurkan diri dan itu memang belum ada perubahan dari sekarang kecuali itu ada perubahan sistem, perubahan rekrutmen, perubahan panduan yang barang kali lebih transparan kredibel, dan bisa dipertanggung jawabkan. Tetapi sampai sekarang kita muhammadiyah akan menarik diri tidak mengikuti pop, itupun pemikiran saya di majelis ada beberapa pemikiran yang lebih keras,”bebernya.
Muhammadiyah bersikukuh menarik diri dari peserta pop kecuali terdapat perubahan, transparan, pertanggung jawaban yang jelas.
Sementara itu, Suhardin Pengamat Konsultan Pendidikan Indonesia menambahkan kedepan kita sepakat kalau NU dan Muhammadiyah sudah evaluasi dengan bahasa halus yang artinya dihentikan saja.
“Sayang uang rakyat hampir 500 (miliar rupiah, red) lebih dihamburkan gitu aja, serahkan pada program yang lebih mendesak. Secara subransif program merdeka belajar harus kita lihat peta kondisi guru, kreativitas apa yang mau dia buat, harusnya di petakan kondisi guru dan sekolah, nah bagaimana kita jangan terlalu tinggi curang, harus ada pemberdayaan guru, kepala sekolah intinya kesejahteraan. Guru bagaimana kreatif perlu ada tingkatkan kesejahteranyaan jangan serahkan uang pada ormas,” pungkasnya. (Ads)