SURABAYA, Tugujatim.id – Persoalan mengenai kasus manuver kudeta terhadap Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) yang dimotori kepala staf kepresidenan (KSP) Moeldoko, masih membawa kontroversi.
Menurut Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto, KSP Moeldoko jelas menyalahi fatsun politik, etika politik, karena melakukan intervensi dan bukan dari kader Partai Demokrat. Apalagi, KBL Sibolangit tidak memenuhi kriteria menurut AD/ART Tahun 2020 Partai Demorkat.
“Pertama dari sisi etika politik atau fatsun politik. Tentu saja ini menyalahi fatsun politik, karena ini kan intervensi dari luar (partai Demokrat, red). Bukan dari dalam. Kemudian, bahkan dilakukan pihak spesial, dalam hal ini Moeldoko sebagai KSP (ketua staf kepresidenan, red) dan kemudian bagian dari kekuasaan (pemerintahan, red),” terang Wijayanto pada Tugu Jatim, Kamis (11/03/2021) siang.
Selain itu, Wijayanto juga menyampaikan bahwa secara hukum memang tidak ada sanksi untuk KSP Moeldoko, namun bila dilihat dari perspektif fatsun politik, seharusnya ada teguran yang dilayangkan Presiden Jokowi untuk KSP Moeldoko karena manuver pada KLB Sibolangit tersebut.
“Moeldoko sendiri juga klaim, kalau Presiden Jokowi tidak tahu mengenai hal ini. Presiden Jokowi tidak memberi bantahan. Secara hukum tidak ada aturan untuk beri sanksi, tapi secara etika seharusnya ada teguran di sana. Karena, Moeldoko melakukan manuver tanpa diketahui Presiden Jokowi. Seperti ‘statement’ dia sendiri (Moeldoko, red),” bebernya.
Mengenai respon diam dari Jokowi, Wijayanto menambahkan, bahwa ‘diam’ memang erat dengan kultur Jawa yang seringkali dimaknai sebagai ‘membiarkan’, ‘memperbolehkan” atau ‘merestui’.
“Diamnya presiden ini menarik ya, kalau dilihat dari kultur Jawa, diam itu kadang ‘membiarkan’, ‘memperbolehkan’ atau ‘merestui’. Publik membaca, kalau memang Presiden Jokowi ingin menunjukkan pada publik bahwa dia pro demokrasi (maka harus merawat oposisi, salah satunya partai Demokrat, red),” ucapnya.
Bila ingin merawat demokrasi, jelas Wijayanto, Presiden Jokowi harus komitmen dengan ketersediaan dikritik oleh oposisi dan menjaga demokrasi di Indonesia.
“Tentu saja, bila Presiden Jokowi ingin menunjukkan komitmen dengan upaya memelihara demorkasi. Tapi kita tidak tahu, apakah merawat oposisi dan menjaga demokrasi merupakan salah satu prioritas Presiden Jokowi? Atau justru sebaliknya,” pungkasnya. (Rangga Aji/gg)