MALANG, Tugujatim.id – Mahkamah Agung (MA) resmi membatalkan vonis bebas yang dijatuhkan pada dua terdakwa tragedi Kanjuruhan dari unsur Polres Malang. Vonis bebas dari jerat penjara itu sebelumnya diputus di Pengadilan Negeri Surabaya, beberapa waktu lalu.
Keduanya ialah eks Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto.
MA membatalkan vonis bebas itu menjadi dua tahun penjara untuk Bambang dan 2,5 tahun penjara untuk Wahyu.
Terdakwa Wahyu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana akibat kealpaannya menyebabkan orang lain mati dan karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat dan karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara.
Pembatalan vonis itu disampaikan Ketua Majelis Hakim Agung, Prof Surya Jaya dan Anggota Hakim Agung, Brigjen TNI (Purn) Hidayat Manao dan Hakim Agung, Jupriyadi, pada Rabu (23/8/2023) malam.
Putusan oleh MA ini dibenarkan oleh Koordinator LBH Pos Malang, Daniel Alexander Siagian yang juga ikut mengawal proses hukum tragedi Kanjuruhan.
Meski begitu, putusan tersebut dinilai Daniel masih jauh dari kata adil. Apalagi, ada korban 135 nyawa melayang dan 600 lebih suporter luka-luka akibat instruksi penembakan gas air mata tersebut.
“Bagi kami, putusan kasasi itu masih ringan dan jauh dari kata adil. Apalagi, jerat pidana dalam pasal 359 dan 360 KUHP itu 7 tahun penjara. Tidak sebanding dengan dampak serius yang ditimbulkan, baik bagi korban, keluarga korban, dan lain-lainnya akibat kejahatan kemanusiaan tersebut,” tegas Daniel, pada Kamis (24/8/2023).
Apalagi, sambung Daniel, jika mengingat jalannya proses hukum yang berlangsung sejak 16 Januari 2023 hingga 16 Maret 2023, terdapat indikasi peradilan sesat (Malicious Trial Process). Dalam penetapan tersangka hingga terdakwa, tidak melibatkan pelaku di level atas.
“Kami masih menilai putusan kasasi ini masih tidak adil. Artinya, masih ada pembiaran atau meneruskan stigma kebal hukum bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan. Karena sejak awal, tidak ada pelaku level atas yang ikut diadili dan terkesan dibebaskan,” paparnya.
Ketidakpuasan juga datang dari salah satu keluarga korban, Devi Athok, ayah dari dua remaja yang menjadi korban meninggal. Kendati demikian, Devi masih memberikan apresiasi atas pembatalan vonis tersebut. “Artinya, pihak MA masih memiliki hati nurani. Tapi saya rasa itu masih belum setimpal. Seharusnya kan hukuman penjaranya di atas lima tahun,” ucapnya.
Devi Athok dan keluarga korban lainnya berharap kasus kejahatan kemanusiaan ini bisa dibuktikan secara transparan, tidak hanya sekedar menjadi formalitas saja. Sebab itu, ia bersama keluarga korban yang masih mencari keadilan hingga saat ini tetap berjuang membuat laporan model B.
“Kalau pengadilan kemarin kan itu pakai laporan model A, ada pasal terkait kealpaan, itu tidak sesuai. Seharusnya dihukum lebih berat. Hukuman dua tahun bagi saya belum sebanding dengan apa yang kami rasakan,” pungkasnya.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Lizya Kristanti