Mantan Wamenkumham Nilai Ada 4 Ambiguitas atas Pembatalan UU Ciptaker

Herlianto A

News

Denny Indrayana
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM dan sekaligus guru besar Hukum Tata Negara. (Foto: Facebook/Denny Indrayana)

Tugujatim.id – Mantan wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai ada ambiguitas atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan  Undang-Undang  No  11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau atau  “UU Ciptaker.”

Dalam rilisnya kepada Tugujatim.id, Jumat (26/11/2021), guru besar Hukum Tata Negara (HTN) itu menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (“Putusan MK 91”) atas UU Ciptaker yang pada dasarnya menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat.

“Memang setiap putusan akan mengundang perbedaan interpretasi dan perdebatan. Namun, seperti dalam banyak putusan yang coba mengakomodir berbagai kepentingan dan mencari jalan tengah, Putusan MK ini menjadi ambigu dan terkesan tidak konsisten,” kata Denny.

Dalam hal ini, alumni UGM tersebut menyebut ada  4 ambiguitas dalam putusan tersebut.

Pertama, UU Ciptaker dengan tegas-tegas dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tapi masih diberi ruang untuk berlaku selama dua tahun. Alasannya, sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan.

“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” tegas Denny.

Kedua, dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 10 di antaranya “kehilangan objek” karena Putusan MK 91 sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

“Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal selama 2 (dua) tahun. Sehingga bagaimanapun ada kemungkinan isi UU Ciptaker tetap berlaku selama dua tahun tersebut,” lanjutnya.

Ketiga, MK mencari kompromi, imbuh Denny, tetapi  justru terjebak menjadi tidak tegas. Putusan MK menimbulkan multi tafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak. Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Ciptaker masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun.  Pihak lain berpendapat UU Ciptaker tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.

Atas dua pendapat itu, sebenarnya MK telah mencoba memberikan kejelasan pada paragraph 3.20.5 bahwa, meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Ciptaker yang “strategis dan berdampak luas … agar ditangguhkan terlebih dahulu”, demikian pula tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas”. Lebih jauh, tidak pula “dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru”.

“Jalan tengah yang ditawarkan MK ini tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan “strategis” dan “berdampak luas,” ujar Denny.

Keempat,  dalam Putusan MK 91 ini Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Ciptaker.

Namun, sayangnya MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan senyatanya menihilkan public participation.

“Jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata dia.

Namun demikian, lanjut Denny,  Putusan MK 91 sudah final dan berkekuatan hukum tetap (final and binding) dan harus dihormati. Maka, sekarang solusinya adalah pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) untuk segera melakukan perubahan atas Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang mengadopsi metode sapu jagat (omnibus law), sehingga bisa menjadi landasan baku perbaikan UU Ciptaker.

“Lebih penting lagi, materi UU Ciptaker juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan daulat dan hati rakyat pemilik Republik,” tutup Denny. (*)

Popular Post

Mengusahakan Pertolongan Ilahi.

Kisah Hidup Pendiri Wardah Resmi Tayang di YouTube, Ini Sinopsis Film “Mengusahakan Pertolongan Ilahi”

Dwi Linda

SURABAYA, Tugujatim.id – Kisah hidup Nurhayati Subakat, sosok di balik kesuksesan PT Paragon Technology and Innovation, hadir dalam film bertajuk ...

Ansor Kota Malang.

PC GP Ansor Kota Malang Terima CSR Tugu Malang ID dan Times Indonesia, Tingkatkan Kader Melek Digital

Dwi Linda

MALANG, Tugujatim.id – Pengurus Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Malang menerima bantuan dana corporate social responsibility (CSR) dari ...

Khofifah.

Khofifah-Emil Silaturahmi ke Rumah Jokowi usai Retreat di Magelang, Ini Isi Petuahnya!

Dwi Linda

SURABAYA, Tugujatim.id – Gubernur dan Wakil Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak usai mengikuti retreat di Magelang, Jawa Tengah, ...

Pelaku mutilasi wanita asal Blitar.

Update! Pelaku Mutilasi Wanita asal Blitar dalam Koper Merah: Mulai Menyesal, Kerap Menangis saat Ingat Anak

Dwi Linda

SURABAYA, Tugujatim.id – Rohmat Tri Hartanto alias Antok, 33, pelaku pembunuhan dan mutilasi Uswatun Khasanah, 29, seorang sales promotion girl ...

Mudik gratis 2025.

Tak Ada Mudik Gratis 2025, Dishub Kota Malang Fokus Bangun Lahan Parkir di Kayutangan Heritage

Dwi Linda

MALANG, Tugujatim.id – Kabar kurang menggembirakan datang dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Malang. Pihaknya memastikan tidak menyediakan mudik gratis 2025 ...

Tempuran Mojokerto.

Kurang dari Setahun, Tempuran Mojokerto Terendam Banjir Tiga Kali

Dwi Linda

MOJOKERTO, Tugujatim.id – Wilayah Tempuran, Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, kembali terkena banjir luapan pada Jumat (28/02/2025). Banjir luapan di ...