MOJOKERTO, Tugujatim.id – Sebuah bangunan bernuansa Arab dan Jawa nampak kurang terawat dalam waktu lama. Namanya Masjid Mumbul! Ada perpaduan warna putih, hijau, dan sentuhan emas mendominasi bangunan dengan banyak tulisan huruf Latin dan aksara Jawa itu. Usut punya usut, dulunya bangunan tersebut adalah Pondok Pesantren (Ponpes) Sambung Sari Noto Projo. Ponpes tersebut didirikan alm. Kiai Imam Malik. Ponpes yang disebut juga Padepokan Mayangkoro tersebut berada di Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto.
Halimatus Sa’diyah, istri dari alm. Kiai Imam Malik atau akrab disapa Gus Malik itu, mengatakan, awalnya ponpes tersebut didirikan sekitar 1992 atau 31 tahun silam. Ketika mendirikan ponpes, Gus Malik terlebih dahulu membangun tempat riyadhoh yang berada di sebelah selatan masjid ponpes. Maksudnya, tempat tersebut digunakan untuk berzikir atau mengingat Tuhan dengan sungguh-sungguh.
“Awalnya kiai mendirikan ponpes ini untuk tempat riyadhoh. Tambah lama tambah banyak yang ke sini. Tamu-tamu dari tempat lain juga ikut untuk riyadhoh di sini,” kata Halimah pada Sabtu (25/03/2023).
Tempat yang dimaksud Halimah tersebut tampak dari depan ada gerbang yang mengharuskan pengunjung menundukkan kepala ketika masuk. Di atasnya tertulis lafal hadzaa baabus salaam, lalu pada bagian kiri dan kanan ada lafal Allah dan Muhammad serta aksara Jawa pada kedua bagian di bawahnya.
Setelah melewati gerbang tersebut, ada anak tangga kecil untuk naik lalu turun menuju tempat riyadhoh itu. Di dalamnya begitu gelap karena berupa lorong tanpa penerangan sama sekali. Dulunya tempat riyadhoh itu tidak hanya dipakai para santri, tapi juga para tamu yang berkunjung menyempatkan diri untuk memanjatkan doa-doa serta ritus ibadah lainnya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah.
“Tempat riyadhoh itu biasa dipakai para santri dulu. Juga sama tamu-tamu dari tempat lain biasa dipakai berdoa,” sambung Halimah.
Baca Juga:
4 Burung Merak Senilai Rp80 Juta di Wisata Kaliandra Pasuruan Dicuri
Sayangnya pasca meninggalnya Gus Malik pada 2009 lalu, perlahan banyak santri mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Saat ini hanya tampak satu orang yang bermukim di ponpes tersebut. Sehari-hari nampak warga sekitar mengaji di masjid utama yang berada sebelah utara dari tempat riyadhoh.
“Kalau sekarang hanya warga sekitar saja yang mengaji di masjid situ (utara tempat riyadhoh). Sudah ndak ada yang mukim di sini sejak Gus Malik wafat. Cuma tinggal satu orang saja seingat saya,” ujar Halimah.
Menariknya, Masjid Mumbul yang digunakan warga mengaji itu tampak tidak memakai beton. Hanya ada bambu sebagai penyangga bangunan di atasnya. Meski demikian, masjid itu masih tampak kokoh.
Warga sekitar menyebut masjid itu dengan sebutan Masjid Mumbul. Kalau mumbul dalam bahasa Jawa dapat diartikan melambung atau membumbung. Kata tersebut menggambarkan lantai kedua masjid yang bisa dibilang mumbul karena hanya ditopang bambu sebagai penyangganya.
“Itu biasa kami sebut masjid mumbul karena nggak pakai beton. Pakai bambu saja ternyata kuat sampai sekarang,” kata Muhammad Arif, salah satu warga sekitar.
Baca Juga:
4 Anakan Merak di Wisata Kaliandra Pasuruan Dijual Murah Rp1,5 Juta Per Ekor
Menurut Halimah, Gus Malik membuat masjid yang jauh dari keramaian dan minim penerangan sebagai pengingat manusia tentang kematian. Dengan memasuki tempat ini, diharapkan pengunjung yang datang bisa khusyuk beribadah sembari mengingat bagaimana dirinya saat berada di alam lain nanti.
“Memang minim lampu (penerangan). Maksudnya tamu biar khusyuk, ingat nanti pas ada di alam lain itu seperti apa,” ujar Halimah.