Tugujatim.id – Memiliki darah kerajaan dan pengusaha tidak membuat Pangdam (Panglima Daerah Komando Militer) XIV/Hasanuddin, Mayjen Andi Muhammad merasa jumawa. Alih-alih meneruskan trah kerajaannya, dia lebih memilih menjadi TNI untuk mengabdi pada negara. Diketahui, Mayjen Andi merupakan keturunan raja Bone dari sang kakek yaitu Andi Mapayuki. Sementara ayahnya adalah seorang pengusaha.
Hal ini dasampaikan oleh jenderal bintang dua itu dalam acara podcast yang tayang di kanal YouTube Tugumalang.id, Sabtu (19/2/2022). Dalam kesempatan itu, Mayjen Andi menceritakan alasannya masuk militer yang tidak linear dengan kehidupannya sebagai pemilik trah kerajaan Bone.
Menurutnya, dia selalu dihadapkan dengan kehidupan yang feodal. Artinya dalam kehidupan kerajaan ada tatanan yang boleh dikatakan dilestarikan secara turun temurun. Keturunannya harus mengikuti, menghormati, dan dalam keseharian tidak boleh berbuat sewenang-wenang.
Sejak lahir, sang jenderal sudah ada yang mengasuh bersama saudaranya yang lain. Dia diajari norma kerajaan dan diproteksi, artinya tidak boleh melakukan hal-hal tertentu yang dipantang oleh kerajaan. Ini membuat Mayjen Andi bertanya-tanya. Sebab dia tidak boleh melakukan sesuatu semaunya, padahal dia ingin menjadi seperti orang pada umumnya.
Namun meskipun feodal, imbuh Mayjen Andi, tetap masih ada demokrasi. Dia kadang tidak selalu mengikuti peraturan yang diberlakukan dalam keluarganya.
“Masih sering melanggar aturan misalnya persoalan waktu, keluar rumah dan pulang tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan,” kata Akmil angkatan 88 itu.
Ketertarikannya pada dunia militer muncul ketika dia duduk di bangku SMA. Di SMA sangat ketat dengan peraturan dan kedisiplinan yang ditanamkan. Selain itu, sering melihat taruna datang ke sekolahnya dan itu sangat menginspirasi.
Tetapi setelah lulus dari SMA pada tahun 1983, dia tidak langsung melanjutkan sekolah militer. Masih mencoba mendaftar di Universitas Hasanuddin. Barulah pada tahun 1984 dia belajar di akademi militer.
Setelah bergabung, dia menyadari bahwa didikan di akademi militer begitu keras. Sempat merasa bahwa kehidupannya di militer sangat bertentangan dengan kehidupan sebelumnya, yang diperlakukan bak raja.
Namun demikian, hal ini dijadikan tantangan untuk mengubah diri yang terbiasa dalam kehidupan keluarga. Dia berusaha menyesuaikan diri, meskipun sempat terlintas dipikirannya ingin kembali ke rumah karena melihat kehidupan militer sangat berat.
“Sisi lain, saya lahir dari kehidupan yang feodal tetapi di sini harus mandiri, dilatih dengan keras. Namun setelah saya melihat kehidupan taruna penuh kekompakan, akhirnya saya bisa mengikuti hingga lulus di akademi militer dan menyandang Perwira Letnan 2,” ungkapnya.
Jenderal yang kini sudah mengabdi 33 tahun itu juga menyampaikan kesannya selama bergabung menjadi anggota militer. Dia ditugaskan melakukan tugas operasi, dikirim ke daerah-daerah konflik. Pernah ditugaskan ke Timor Timur, Aceh, Papua dan bahkan ke Kamboja sebagai pasukan perdamaian pada tahun 1992.
“Menjadi seorang perwira memang berat di mana kita harus betul-betul memimpin pasukan-pasukan kita, supaya mereka melaksanakan tugas sebaik dan semaksimal mungkin sehingga saya sebagai leader harus memberi contoh ataupun teladan bagi pasukan-pasukan,” kenangnya.
Cucu raja Bone itu juga menambahi bahwa modal menjadi seorang pemimpin harus ada kepercayaan diri. Menyiapkan diri sebaik mungkin baik itu mental, intelektual, dan kalau dalam militer fisik yang prima juga disiapkan. Seorang pemimpin harus memberikan contoh atau teladan yang baik bagi pasukan.
Dia berharap bagi kaum milenial saat ini diajari disiplin baik itu waktu dan lainnya, menepati waktu jika sudah menyepakati perjanjian dengan orang lain. Jika tiba waktunya, generasi milenial harus menjadi pemimpin dan itu akan sangat bermanfaat.
“Disiplin bukan hanya secara lahiriah tetapi juga batiniah. Artinya, tanpa kita diperhatikan orang, kita menyadari bahwa kita adalah seorang pemimpin yang harus berbuat yang baik dan betul-betul menjadi contoh yang baik. Dan juga bagi prajurit yang saya bimbing betul-betul bisa berbaur dengan masyarakat, tidak mengedepankan pendekatan militer, tetapi mengedepankan pendekatan sebagaimana kehidupan layaknya bermasyarakat. Militer harus bisa mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya,” harapnya.