Penulis: Sakban Rosidi, Sekretaris Eksekutif Universitas Islam Majapahit (Unim) Mojokerto
Tugujatim.id – Sebagai proses sosial, politik adalah cara damai dan beradab untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan dan pandangan. Siapa yang akan kita jadikan presiden, gubernur, bupati, wali kota, anggota legislatif, hingga kepala desa, serta hendak kemana suatu daerah atau negara akan diarahkan, ditetapkan berdasarkan pilihan politik rakyat, melalui pemilihan umum.
Kampanye diperlukan untuk membekali rakyat sebelum memilih pemimpin termasuk visi, misi, dan strategi programatiknya. Soal para pelaku bertindak seperti “tukang obat”, silakan saja, karena rakyat yang akan menilai. Selanjutnya, para legislatif membuat undang-undang dan peraturan, sedangkan para pejabat eksekutif membuat program kerja dan melaksanakannya. Dengan mekanisme demikian, kita terhindar dari dan tidak butuh lagi “perang suku, perang golongan, atau perang saudara”.
Tulisan pendek ini, sebenarnya sekadar cermin kegelisahan angkatan kelahiran akhir Perang Dunia II (baby boomers) kala melihat pragmatisme berlebih dalam berbagai ranah kehidupan, dan lebih-lebih dalam perpolitikan belakangan ini. Sistem dan praktik politik yang semestinya berpaling kepada nilai-nilai keadilan sosial, menjadi sarat dengan pamrih kekuasaan dan bahkan kekayaan. Jurang menganga dalam kekuasaan dan kekayaan, antara elite dan massa sangat mungkin mengarah kepada deprivasi sosial yang mengancam sendi-sendi hidup bersama bangsa Indonesia.
Dari kelompok mana perbaikan sistem dan praktik politik ini dapat diharapkan? Arah saya sangat jelas, yakni dari para pemilih pemula yang berdasarkan data KPU sebanyak 56%, dari total pemilih (204,8 juta). Mereka tak hanya sangat menentukan hasil Pilpres dan Pileg yang baru lalu, tetapi juga menjadi penentu hasil Pilkada. Mereka, yang biasa disebut sebagai dividen demografis dalam wacana Indonesia Emas, tak hanya menjadi kelompok yang sangat terdampak oleh hasil Pilpres, Pileg dan Pilkada, tetapi juga merupakan kelompok terbesar yang relatif belum “tercemar” oleh pragmatisme politik yang berlebihan. Walhasil mereka adalah pelaku sekaligus penulis skenario masa depan Indonesia.
Demokrasi dan Kebernalaran
Kajian politik, menelaah cara para aktor — sebenarnya semua warga negara — dalam memperoleh, mempertahankan, menggunakan, dan mengendalikan kekuasaan. Dari kajian ilmu politik dan selanjutnya pendidikan politik, rakyat tahu kalau yang dilakukan sejumlah tokoh politik salah dan buruk, dan kemudian mengajukan sistem serta mekanisme yang diyakini lebih mendekati kebenaran dan kebaikan menurut rakyat.
Meskipun perlu waktu untuk berhasil — ingat untuk gagal pun kita juga perlu waktu yang sama — politik seperti jembatan Suramadu yang dibangun sedikit demi sedikit dengan keadilan sosial sebagai tujuan. Mengapa demikian? Karena kalau belum cukup berkeadilan sosial, ditengarai bahwa tatanan dan pemimpin politik yang ada belum cukup baik dan belum cukup berhasil dari sudut legitimasi etik.
Meminjam ungkapan Matthew Lipman (1991: 245): “Critical thinking improves reasonableness, and the democracy requires reasonable citizens, so critical thinking is a necessary means if our goal is a democratic society”. [Berpikir kritis meningkatkan kebernalaran, dan demokrasi menuntut warga negara yang bisa bernalar, jadi berpikir kritis merupakan sarana yang perlu bila tujuan kita adalah masyarakat demokratik].
Walhasil, kalau mau menilai perpolitikan kita harus pula menggunakan terlebih dulu etika dan kemudian logika:
- Apakah cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sudah benar secara moral dan nalar? Ini pertanyaan untuk pelaku aktif atau bahkan petarung politik.
- Apakah cara menggunakan kekuasaan (kewenangan dan sumberdaya publik yang dipercayakan) sudah benar secara moral dan nalar? Ini pertanyaan bagi sesiapa pun yang menjabat atau menduduki posisi politik.
- Apakah cara mengendalikan kekuasaan sudah benar secara moral dan nalar? Ini pertanyaan bagi sesiapa pun yang dalam oposisi terhadap pejabat politik, yang secara luas berarti mencakup warga negara secara umum.
Mengkritisi Luber Jurdil
Berkenaan dengan beberapa prinsip Pemilu yang demokratis, penting untuk memahami tanya-jawab berikut.
- Apakah boleh tidak memilih? Boleh, karena hukum Indonesia menetapkan bahwa memilih adalah hak, dan bukan kewajiban warga negara.
- Apakah memilih harus jujur? Tidak! Karena kejujuran (dalam arti fair, bukan dalam arti honest) adalah norma pengatur bagi penyelenggara Pemilu, bukan norma bagi pemilih.
- Apakah memilih harus adil? Juga tidak! Karena adil (just) adalah norma pengatur bagi penyelenggara Pemilu, bukan norma bagi pemilih.
- Apakah memilih harus langsung? Iya, karena hak pilih bersifat pribadi dan tidak bisa diwakilkan (direct), dan ini mengatur baik penyelenggara Pemilu maupun pemilih.
- Apakah hak memilih bersifat umum? Iya, karena pada dasarnya semua warga negara dewasa (public) memiliki hak pilih, terkecuali ada alasan sah berdasarkan hukum.
- Apakah memilih bersifat bebas? Iya, karena menentukan pilihan merupakan perwujudan nyata dari kemerdekaan dan kedaulatan individu (individual freedom and sovereignity) sebagaimana hak warga negara yang lain seperti merdeka dalam beragama dan menganut kepercayaan.
- Apakah memilih harus rahasia? Tidak! Karena sifat rahasia (confidential) adalah norma yang mengatur penyelenggara Pemilu. Kita boleh memberi tahu pilihan kita. Tetapi orang lain, termasuk Penyelenggara Pemilu, tidak boleh meminta atau memaksa kita untuk mengetahui pilihan kita.
Kualitas Demokrasi
Merujuk kajian ilmu politik pula, dapat disimpulkan bahwa demokrasi sebagai sistem politik senantiasa dalam keadaan sedang berkembang (in status ascendi). Kualitas demokrasi, semula hanya ditakar berdasarkan pemenuhan norma-norma prosedural. Demokrasi prosedural adalah persaingan partai politik dan/atau para calon pemimpin politik menyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan (legislatif atau eksekutif) di pusat atau daerah.
Dalam demokrasi terdapat dua unsur penting yakni kontestasi/persaingan secara adil antar partai dan/atau calon pemimpin, serta partisipasi warga negara dalam menilai dan memberi keputusan atas persaingan tersebut. Demokrasi dalam artian ini, cenderung dipahami sebagai hak partai atau calon yang menang dalam Pemilu untuk memerintah (membuat dan melaksanakan Undang-undang) dan kebijakan publik lainnya. Inilah yang disebut demokrasi minimal atau prosedural.
Selanjutnya, demokrasi juga dituntut untuk memiliki kualitas agregatif. Artinya, demokrasi tidak hanya berupa keikutsertaan dalam Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta akuntabel tetapi terutama cita-cita, pendapat, preferensi, dan penilaian warga negara menentukan isi Undang-undang, kebijakan dan tindakan publik lainnya. Asumsinya, orang yang paling tahu mengenai apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Undang-undang dan kebijakan publik harus mengalir dari pandangan para warga negara.
Belakangan, diperkenalkan demokrasi deliberatif yang memandang bahwa demokrasi agregatif saja tidak cukup. Demokrasi tidak hanya diukur dari apakah Undang-undang dan kebijakan publik dirumuskan berdasarkan pandangan para warga negara secara umum tetapi terutama apakah Undang-undang dan kebijakan tersebut sesuai dengan kehendak setiap warga negara. Menurut pandangan demokrasi deliberatif karena pengambilan keputusan pada berbagai institusi, seperti partai politik, civil society, lembaga perwakilan rakyat, pengadilan, departemen dan dinas pemerintahan, rembug desa, dan ruang publik lainnya dilakukan melalui diskusi/musyawarah yang tidak hanya terbuka tetapi berdasarkan alasan dan pertimbangan rasional. Ada wilayah yang tidak bisa didemokrasikan, yaitu perkara moral. Kalau akal sehat tidak diperhatikan, maka kita akan dengan mudah terjebak dalam praktik tirani mayoritas. Karena sebetulnya demokrasi bersifat bukan anti-moral tetapi amoral.
Terakhir, kualitas demokrasi juga harus ditakar berdasarkan asas partisipatori. Penyokong demokrasi partisipatoris menganggap demokrasi prosedural berkadar tipis, menganggap demokrasi agregatif sebagai tidak cukup mencerminkan prinsip keswa-trantraan (self-government) yang dalam hal Undang-undang dan kebijakan bisa saja sesuai dengan preferensi sebagai besar warga negara tetapi pemerintahannya tidak demokratik. Demokrasi deliberatif belum melibatkan semua warga negara. Dalam demokrasi partisipatoris, para warga negara berinteraksi secara langsung dalam membahas pilihan Undang-undang atau kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi bersama. Wujud nyata demokrasi prosedural adalah pemilihan umum tetapi demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi. Walaupun hanya salah satu aspek demokrasi, pemilihan umum yang demokratik merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting.
Membidani Pemilih Bernalar
Sayang sekali, kemuliaan kajian dan pendidikan politik acapkali didangkalkan oleh sejumlah praktisi dan komentator politik. Sungguh masih bisa dimaklumi pendangkalan diskusi politik menjadi sekedar soal strategi dan siasat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dilakukan oleh sesiapa pun yang tidak berlatar belakang ilmu politik. Betapa pun setiap rakyat adalah pelaku praktik politik, senantiasa berpolitik praktis. Tetapi sungguh sangat merisaukan bila semua yang berkesempatan belajar ilmu politik ikut terlarut dalam kegiatan politik praktis, yang hari-hari dan pikirannya sekadar memikirkan dan mengupayakan bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Benar, Indonesia butuh pendidikan politik, tetapi bukan sekadar sebagaimana diajarkan dan dicontohkan oleh para praktisi politik (politicians). Indonesia butuh pendidikan politik sebagaimana dikaji-kembangkan oleh para ahli ilmu politik (political scientists). Hanya dengan pembagian tugas demikian, kemuliaan politik sebagai teknologi sosial bisa mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu: menekan hingga serendah mungkin naluri biologis manusia, dan meningkatkan setinggi mungkin nurani sosial manusia.
Para peneliti boleh mengutip terus-menerus tipologi pemilih dalam berbagai Pemilu kita. Ada pemilih rasional, pemilih tradisional, pemilih kritis, dan pemilih skeptis, dan belakangan pemilih cerdas (rational, traditional, critical, skeptical and smart voters). Tetapi, sebenarnya ada satu lagi jenis pemilih yang harus ditumbuh-kembangkan, yaitu: pemilih berpenalaran (reasonable voters).
Tindakan rasional (rational action), yang menjadi acuan teori pilihan rasional adalah tindakan yang mempertimbangkan keuntungan dan kerugian. Teori ini bersandar pada keyakinan bahwa tindakan manusia senantiasa dimaksudkan untuk mengejar kepentingan pribadi. Karena itu, pemilih rasional tak lain adalah orang yang menetapkan pilihannya berdasarkan pertimbangan kepentingan dan atau keuntungan pribadi. Sedangkan tindakan berpenalaran (reasonable action) adalah tindakan yang didasarkan pada penalaran yang orientasinya adalah kebenaran, kebaikan, keadilan, kesejahteraan dan keindahan.
Baca Juga: Megan Fox Comeback, Cerita Plotwist Jadi Robot AI dalam Film Terbaru “Subservience”
Sekadar contoh, kalau ada calon Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota berjanji melaksanakan program wajib belajar dengan pembiayaan negara, jaminan kesehatan dengan pembiayaan negara, peningkatan ekonomi rakyat kecil dengan jaminan negara, dan sebagainya, sangat mungkin tak relevan dengan kepentingan saya pribadi.
Mengapa? Saya dan isteri saya, sudah berpendidikan formal tertinggi. Anak saya, hampir pasti tidak mengikuti pendidikan formal lagi. Saya dan keluarga sudah memiliki dan mampu membiayai kesehatan sendiri. Kami semua juga sudah memiliki profesi yang relatif mapan walau tidak berlebihan. Jadi, sangat jelas kalau janji-janji kampanye seperti itu tidak menyentuh kepentingan saya dan keluarga. Tetapi, sungguh berdasarkan pertimbangan etika dan penalaran moral, saya dan keluarga akan memilih para calon Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota yang menurut kami memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan janji-janji politik tersebut. Inilah yang saya sebut para pemilih berpenalaran moral (moral reasonable voters).
Selamat Pilkada Serentak 2024. Demi kemuliaan pribadi dan kebaikan bersama ke depan, marilah kita menjadi sekaligus membidani jutaan pemilih berpenalaran moral. Salam Indonesia Bernalar!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Editor: Dwi Lindawati