MALANG, Tugujatim.id – Awal perjalanan perkembangan dunia musik di Kota Malang diwarnai cerita-cerita unik dan menarik. Salah satunya yakni ketika para pemuda hingga rela menjual celana demi untuk bisa membeli tiket konser musik. Cerita semacam itu menyeruak seiring dengan perkembangan pesat musik modern di Kota Malang yang dimulai sekitar tahun 1960-an.
Kala itu, band-band lokal mulai bermunculan mewarnai permusikan di Kota Malang. Di mana sebelumnya hanya ada musik-musik tradisi, musik rakyat, dan lainnya, namun kemudian muncul lagu-lagu hits musik Barat yang saat itu mulai menginspirasi musisi tanah air dalam berkarya, tak terkecuali musisi Kota Malang.
“Jadi mulai 1960-an itu mulai lahir band-band musik modern. Awalnya mereka hanya membawakan lagu-lagu orang lain, kemudian berkembang dengan menciptakan sendiri lagu pop hingga rock,” ujar Hengki Herawan, pendiri Museum Musik Indonesia (MMI) Kota Malang.
Pada era 1970-an, beberapa grup musik Kota Malang mulai melakukan rekaman meski distribusinya tak seluas lebel ternama di tanah air. Genre rock dan pop yang dibawa musisi luar Malang saat itu juga sangat menginspirasi selera pecinta musik Kota Malang.
“Walaupun distribusinya minim, jaringan mereka sangat luas dan bahkan mereka punya penggemar hingga luar negeri. Namun selera musik warga Kota Malang saat itu juga sangat besar,” ungkapnya.
Pada era inilah musik rock mulai berkembang pesat dan sangat digemari di Kota Malang. Musisi musisi lokal juga turut merasakan kejayaan permusikan di Kota Malang. Bahkan, di era 1970 hingga 1976, sangat marak pemuda Kota Malang yang menjual pakaiannya, seperti baju dan celana. Hal itu mereka lakukan untuk bisa mendapatkan uang demi membeli tiket konser musik yang mereka gandrungi.
“Dulu banyak sekali cerita jual celana. Mereka biasa menjual di pasar loak. Memang banyak sekali yang melakukan itu untuk membeli tiket konser,” ungkapnya.
Menurutnya, kebiasaan pemuda Kota Malang yang menjual celanannya untuk membeli tiket konser itu menunjukkan bahwa antusias pemuda saat itu sangat fanatik.
“Mereka rela melakukan itu untuk bisa melihat musik yang mereka gemari. Kalau ternyata musiknya gak bagus, ya banyak juga pasti yang kecewa hingga diteriaki, bahkan ada yang melempari musisinya,” paparnya.
Disebutkan, saat itu, mayoritas pemudanya menggemari musik rock. Kemudian musik rock di Kota Malang terus berkembang dan mendominasi hingga tahun 2000-an.
Perjalanan permusikan di Kota Malang terus mengalami perkembangan yang juga memberikan dampak pada pelaku dan penikmat musik. Namun, kemunculan pandemi Covid-19 membuat dunia permusikan mulai kehilangan pijakan.
Pertunjukan atau konser musik terpaksa harus dihentikan pergelarannya. Tentu pandemi ini juga sangat berdampak pada perekonomian para musisi maupun pelaku permusikan.
“Pengaruh pandemi ini sangat besar sekali, karena konser musik lekat dengan penonton yang ada di ruang publik,” ujarnya.
Namun disebutkan, saat ini banyak sekali musisi yang mulai beralih ke media digital. Hal itu dilakukan demi bisa tetap bertahan dan tetap berekspresi dalam masa sulit ini.
“Sekarang mereka berekspresi melalui medsos. Saya pikir musisi Kota Malang dengan bakat, kemampuan dan jiwa seninya akan bisa terus berkembang dan bisa menciptakan karyanya,” tuturnya.
“Menghadapi situasi pandemi ini, jangan kendor, tetap terus berkarya. Karena pasti pandemi ada akhirnya. Terus manfaatkan teknologi,” pesannya.