Tugujatim.id – 6 Januari diperingati sebagai Hari Anak Yatim Korban Perang Sedunia. Peringatan ini digagas oleh SOS Enfants en Detresse, organisasi kemanusiaan asal Prancis yang fokus pada perlindungan anak-anak, khususnya korban perang dan konflik. Dilansir dari Genpi.co, UNICEF merilis ada sekitar 140 juta anak yatim dan piatu korban perang di dunia.
Anak yatim dan piatu memerlukan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang setara dengan anak pada umumnya. Anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak ialah orang yang belum mencapai usia 18 tahun. Kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak. Kedewasaan telah dicapai lebih cepat, sebab mengakui kemungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan batas usia kedewasaan dalam peraturan perundang-undangan negara peserta.
Dalam buku Pengantar Konvensi Hak Anak yang ditulis Supriyadi W Eddyono SH, dijelaskan bahwa hak anak muncul sebagai reaksi atas penderitaan yang banyak dialami kaum perempuan dan anak-anak akibat Perang Dunia I, sehingga menyumbang besarnya jumlah anak yatim piatu korban perang.
Also Read
Pada 20 November 1989, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Hak Anak dan diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali Somalia dan Amerika Serikat. Kovensi Hak Anak (KHA) PBB, merupakan konvensi internasional yang mengatur secara lengkap tentang hak sipil anak, hak budaya, hak sosial, dan hak politik.
Sementara menurut buku Pelatihan Konvensi Hak Anak dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Eksploitasi Terhadap Anak yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 1923 Save The Children Fund International Union mengadopsi sepuluh butir hak anak yang dikembangkan Eglantyne Jebb.
Di antaranya, hak akan nama dan kewarganegaraan, hak kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan, dan hak berpartisipasi dalam pembangunan.
Apa saja isi pokok Konvensi Hak Anak (KHA) PBB? Simak penjelasan Tugu Jatim ID berikut ini.
1. Struktur KHA
KHA memiliki 54 pasal, terdiri dari 4 bagian yaitu, Preambule yang berisi konteks Konvensi Hak Anak. Bagian satu (pasal 1-4) mengatur hak-hak anak. Bagian dua (pasal 42-45) berisi masalah pemantauan dan pelaksanaan KHA.
Dan, bagian tiga (pasal 46-54) mengatur masalah pemberlakuan konvensi. Sementara berdasarkan cara pembagian yang dirumuskan Komite KHA PBB, KHA berisi delapan kategori. Yaitu, penjelasan langkah-langkah umum, definisi anak, prinsip umum, hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, waktu luang, budaya, dan rekreasi, dan perlindungan khusus.
2. Prinsip dan Hak Anak dalam KHA
KHA memegang empat prinsip yaitu, non-diskriminasi, kepentingan terbaik, kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, penghargaan terhadap pandangan anak. Kemudian, hak sipil dan kebebasan pada anak, meliputi nama dan kebangsaan, mempertahankan identitas, kebebasan berpendapat, kemerdekaan berpikir, hari nurani, dan beragama, kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, perlindungan privasi, akses terhadap informasi yang layak, hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Selain itu, KHA juga menegaskan bahwa peranan keluarga atau keluarga pengganti sangat penting dalam upaya pemenuhan hak anak. Setiap anak memiliki hak untuk memperoleh standar kehidupan yang layak agar mereka bisa berkembang, fisik, mental, spiritual, moral maupun sosial dengan baik termasuk hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan serta jaminan sosial.
3. Pihak-Pihak Terkait Konvensi Hak Anak
Pihak yang terkait KHA yaitu anak sebagai pemegang hak dan negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak. Pihak negara yang dimaksud mencakup pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tak hanya itu, pihak orang tua, keluarga/keluarga pengganti, dan masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam memenuhi hak anak.
4. Pelanggaran Hak Anak
Secara umum, pelanggaran KHA diukur dari kepatuhan negara dalam memenuhi kewajibannya, yang mencakup dua macam. Pertama, negara dinilai melakukan pelanggaran yang nyata jika negara bertindak baik tindakan legislatif, administratif, atau lainnya yang seharusnya tidak dilakukan.
Kedua, non compliance yaitu negara tidak melakukan tindakan baik tindakan legislatif, administratif, atau tindakan lain yang diisyaratkan oleh KHA bagi pemenuhan hak anak, khususnya terkait hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Jika pelanggaran dilakukan oleh orang tua, atau anggota masyarakat, maka negara wajib menjamin agar masyarakat tidak melakukan pelanggaran hak anak dan menjamin kejadian serupa tidak terulang. Pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan harus ada upaya pemulihan korban.