Oleh: Muhammad Farhan Azizi, Pegiat Literasi
Tugujatim. id – Baru-baru ini tindakan ‘tidak berperikemanusiaan’ lagi-lagi dipertontonkan ke hadapan masyarakat luas dunia maya.
Salah satu unggahan video yang tersebar di media sosial menunjukkan oknum anggota TNI AU sedang menginjak kepala seorang pria di Merauke. Ini adalah bentuk tindakan ‘tidak berperikemanusiaan’ yang dimaksud.
Berdasarkan berita yang dimuat di beberapa media (27/07/2021), alasan oknum TNI itu melakukan tindakan yang ‘tidak berperikemanusiaan’ itu, karena berniat mengamankan seorang pria yang dilihat sedang cekcok dengan penjual bubur ayam lantaran mabuk.
Namun netizen berkomentar bahwa berita tersebut tidak benar, karena pria itu hanya juru parkir alias jukir penyandang cacat atau difabel.
Bahkan, sejumlah netizen mengatakan bahwa seantero Merauke pun mengenal pria tersebut sebagai jukir difabel. Itu sebabnya, netizen mengeklaim tindakan tersebut sebagai tindakan yang ‘tidak berperikemanusiaan’.
Prinsip Dualitas
Apa yang dikatakan netizen, benar. Terlepas jukir difabel yang terkenal seantero Merauke itu mabuk atau tidak, Jukir difabel juga manusia. Inilah kata yang terlintas dalam pikiran saya setelah menyaksikan unggahan video kejadian tersebut.
Pikiran itu terlintas karena mengingat istilah dualitas, prinsip dualitas, yang kemudian mengilhami pikiran saya untuk mengatakan, “sungguh, tindakan itu tidak berperikemanusiaan.”
Prinsip dualitas acap kali menjadi worldview atau pandangan hidup manusia dalam merespon permasalahan tanpa melihat bangsa atau agama. Karena itu, prinsip dualitas merupakan salah satu perspektif yang relevan digunakan untuk melihat masalah ini lebih lanjut.
Meminjam istilah prinsip dualitas salah seorang cendikiawan muslim asal Palestina Ismail Raji Al-Faruqi (1989), prinsip dualitas adalah pandangan hidup manusia yang memandang dunia hanya memiliki dua kenyataan, yaitu “Pencipta” dan “ciptaan”.
Pencipta hanya satu, yaitu Tuhan (Maha segalanya), dan ciptaan adalah banyak, yakni berupa alam semesta yang berarti seluruh alam dan se-isinya.
Meletakkan perhatian pada pengertian ciptaan berdasarkan prinsip dualitas, maka didapatkan kesimpulan bahwa semua manusia itu sama. Sama, karena sama-sama ciptaan, bahkan manusia dengan hewan sekalipun. Maka siapa pun dan apa pun itu, selama mereka adalah ciptaan, maka mereka sama.
Pada hakikatnya, prinsip dualitas memandang bahwa tidak ada manusia yang bermartabat dan bernilai lebih dari manusia yang lain. Karenanya, seluruh ciptaan hanya tunduk dan pasrah kepada kenyataan yang berbeda dari mereka atau di luar mereka, yaitu Tuhan.
Karena itu, manusia tidak bisa semena-mena bertindak. Apalagi bertindak menyerupai Tuhan, seperti menghakimi, menjatuhkan, atau menyakiti manusia lain.
Namun, ada satu aspek yang membedakan manusia satu dengan yang lain, yaitu fungsi. Mereka memiliki fungsinya masing-masing.
Contohnya, juru parkir memiliki fungsi mengamankan kendaraan yang ditinggal pemiliknya, penjual bubur ayam memiliki fungsi membuat bubur ayam kemudian menjualnya, TNI AU memiliki fungsi mempertahankan dan mengamankan NKRI melalui sektor udara, dan demikian seterusnya.
Manusia sangat disarankan untuk menjadi manusia yang fungsional. Fokus terhadap fungsi masing-masing menjadi sikap yang ditekankan prinsip dualitas ini. Dengan fokusnya kepada fungsi masing-masing, setiap manusia tidak akan sibuk mengurus fungsi manusia lain.
Itulah prinsip dualitas. Diperlukan kesadaran penuh terhadap kenyataan bahwa semua manusia itu sama, dan hanya dibedakan oleh fungsi. Terlebih, kesadaran itu dijadikan pandangan hidup setiap manusia.
Dengan pandangan hidup yang memandang manusia itu sama akan mewujudkan manusia yang mempunyai perikemanusiaan (suka menolong dan bertimbang rasa) atau berperikemanusiaan. Dan dengan berperikemanusiaan itu manusia akan menuju pergaulan hidup yang lebih baik (sejahtera).
Paham Kemanusiaan
Humanisme (paham yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia) atau paham kemanusiaan juga dapat dijadikan perspektif melihat masalah ini.
Mengutip Ali Syari’ati (1996), humanisme memandang manusia sebagai makhluk (ciptaan) mulia yang memiliki prinsip pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokonya dengan keselamatan.
Itu artinya, manusia adalah ciptaan mulia yang menjadikan keselamatan sebagai prinsip untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, minum, jual-beli, kerja, nikah, tidur, dan lain sebagainya. Inilah yang kemudian membedakan manusia dengan ciptaan lain.
Juga disebutkan dalam humanisme, kemuliaan manusia adalah disebabkan harkat, martabat, dan rohaninya. Sebagaimana Mangun Harjana dalam bukunya Isme-Isme dari A sampai Z (1997), manusia mempunyai kedudukan yang istimewa dan kemampuan lebih dari makhluk lain karena harkat, martabat, dan rohaninya.
Maka dapat dipahami, harkat, martabat dan rohani yada ada dalam diri manusia menjadi ukuran seorang manusia dikatakan makhluk yang istimewa.
Di samping itu, manusia juga akan menggunakan harkat dan martabat itu sebagai upaya dalam meningkatkan kepedulian antar sesama.
Seperti Franzs Magnis Suseno (2007), martabat (dignity) dan nilai (value) yang dimiliki setiap manusia merupakan upaya mereka untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiah atau disebut sikap spiritual yang diarahkan kepada humanitarianisme (moral dan simpati yang ditujukan kepada seluruh manusia).
Untuk itu, humanisme tidak menyarankan setiap manusia untuk tidak peduli sesama, apalagi menyakiti. Ketika manusia tidak peduli satu sama lain, maka dia menurunkan posisinya sebagai makhluk istimewa. Karena lagi-lagi, yang membuat manusia mempunyai kedudukan istimewa adalah harkat, martabat, dan rohani.
Dengan demikian, paham kemanusian ini akan memperkokoh landasan pergaulan hidup setiap manusia dalam upaya menyempurnakan aspek kemanusiaan (harkat, martabat, dan rohani), untuk mewujudkan pergaulan hidup yang lebih baik (sejahtera). Inilah paham kemanusiaan.