SURABAYA, Tugujatim.id – Sebanyak 13 nama aktivis demokrasi tahun 1998 yang diculik dan dihilangkan di antaranya dua mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah tidak boleh dilupakan. Ingatan sejarah itu diterus akan digaungkan melalui berbagai media. Salah satunya lewat film dokumenter berjudul “Yang Tak Pernah Hilang” yang baru dirilis pada 7 Februari 2024.
Namun, film yang digagas oleh kelompok Kawan Herman Bimo ini juga digelar nonton bareng (nobar) bersama Fakultas Filsafat Universitas Katholik Widya Mandala (UKWM) Surabaya pada Senin (12/02/2024).
Yang Tak Pernah Hilang, film dokumenter berdurasi 2,3 jam tersebut merupakan karya sutradara dari Anton Subandrio dan diproduseri oleh Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jawa Timur Dandik Katjasungkana.
Secara keseluruhan, film dokumenter Yang Tak Pernah Hilang mengajak penonton untuk mengenal lebih dalam tentang dua sosok aktivis tersebut.
Cerita Herman dan Bimo diulas secara natural melalui 35 narasumber, keluarga, teman, dan orang terdekat Herman Bimo. Bagaimana pengenalan dari narasumber secara personal terhadap dua aktor utama dalam film dokumenter ini.
“Film dokumenter ini upaya memorialisasi dua aktivis pejuang demokrasi Herman dan Bimo yang telah diculik dan dihilangkan oleh rezim Orde Baru pada 1998. Sampai sekarang negara enggan mengadili para pelaku yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat ini dan tidak segera mencari para korban yang masih hilang,” kata Dandik.
Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1998 ini menjelaskan jika pesan yang ingin disampaikan oleh Kawan Herman Bimo adalah anak muda bisa tergugah untuk terus mengingat sejarah perjuangan kawan-kawan aktivis yang berujung dengan pelanggaran HAM 1998.
“Kami tidak hanya sekadar cerita, tapi berdialog dengan anak muda dan bagaimana nilai yang diperjuangkan sepenuh hati serta seteguh hati sampai titik darah penghabisan. Tapi, kami juga dengan posisi memaknai seperti itu mau merefleksi diri sendiri sampai di mana kami berbuat setelah teman-teman kami hilang,” ujarnya.
Film yang produksinya memakan waktu lebih dari satu tahun ini dan diambil dari beberapa kota termasuk Malang, Surabaya, Jakarta, dan Jogja.
Writer: Izzatun Najibah
Editor: Dwi Lindawati