SURABAYA, Tugujatim.id – Pro kontra terkait alasan FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah dalam ajang Piala Dunia U-20 masih terus bergulir di kalangan publik.
Pakar Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya, Joko Susanto SIP MSc menilai bahwa hal tersebut bisa menciptakan dampak buruk bagi Indonesia, baik dari aspek dunia olahraga maupun hubungan luar negeri.
“Saya rasa ini adalah sebuah tragedi besar bagi Indonesia, tidak hanya dari sisi olahraga saja, tetapi juga politik luar negeri serta kepentingan nasional,” kata Joko Susanto, pada Jumat (31/3/2023).
Sebelum ada keputusan dari FIFA terkait pembatalan tersebut, marak penolakan kedatangan Timnas Israel untuk berlaga di Indonesia. Banyak politikus, partai politik, sampai organisasi di Indonesia beranggapan bahwa menerima Israel datang ke Indonesia sama saja dengan mengkhianati prinsip Soekarno yang berkomitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
Menurut Joko Susanto, hal itu sudah tak lagi revelan. “Terlepas kita punya sejarah penolakan itu, tapi saya melihat bahwa di sini justru kegagapan dalam melihat situasi internasional,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini kondisi politik hubungan internasional sudah banyak mengalami perubahan. Sebelum 1967, Israel adalah negara yang belum memiliki uji keberimbangan meskipun dapat dukungan dari AS. Sementara itu, Liga Arab relative lebih solid di waktu yang sama.
“Dalam situasi seperti itu (1967), memberi tekanan pada Israel masih menjadi sesuatu yang secara stabilitas politik memiliki prospek. Akan tetapi, setelah tahun 1967, posisi Israel semakin terkonsolidasi, sehingga dukungan terhadap Palestina harus lebih kreatif, tidak dengan cara yang sama,” tuturnya.
Dalam kesimpulan ini, Joko menganggap bahwa jika Soekarno masih mengambil langkah yang sama, yaitu penolakan di era sekarang, sama halnya meng- underestimate dalam membaca situasi global.
“Saat ini kita terjebak dalam kebekuan cara pikir dan langkah yang membuat kita mati gaya. Menurut saya ini adalah kebangkrutan strategis yang serius, membela Palestina dan menjalankan kepentingan nasional harusnya bisa selaras,” ungkap Joko.
Akademisi lulusan London School of Economics and Political Science (LSE) tersebut menuturkan, kegagalan beberapa pihak dalam menyikapi ajang Piala Dunia ini justru bernilai kontraproduktif. Sebab, meletakkan perjuangan demokrasi Pancasila dalam posisi diametral dengan penggemar sepak bola.
“Ini bisa menjadi kerugian. Tidak menutup kemungkinan para penggemar sepak bola akan mengingat gerakan pembelaan kepada Palestina ini adalah sebuah masalah,” jelasnya.
Dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Emerging Indonesia Project (EIP) tersebut mengingatkan, seharusnya momentum ini dapat menjadi alarm bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia dalam mengambil sikap untuk ke depannya.
Joko menuturkan, menjaga amanat Bung Karno yakni membela Palestina, bukan berarti mengesampingkan kepentingan nasional.
Ke depannya, pemerintah Indonesia harus lebih kreatif dan bijak dalam membaca situasi yang genting, terlebih berhubungan dengan kepentingan internasional. Upaya atau langkah-langkah strategis menjadi kunci daripada mengutamakan kepentingan pribadi dan sudut pandang beku atas nama ideologis.
“Untuk Pemerintah Indonesia harus merumuskan sudut pandang baru dalam upaya membela rakyat Palestina. Jangan sampai kejadian seperti ini akan terus berulang,” pungkasnya.