Tugujatim.id – Permasalahan seksualitas kerap hangat diperbincangkan. Apalagi dalam situasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak baru-baru ini. Tak hanya itu, masalah sosial seperti tingginya angka kehamilan pranikah, pergaulan bebas, penyakit HIV/AIDS, dan kasus lainnya masih terus terjadi.
Merespon fenomena ini, isu penerapan pendidikan seks pada kurikulum pendidikan kembali mencuat. Namun, hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra di ranah publik.
Pendidikan seks merupakan kegiatan pemberian pengetahuan seputar seksualitas yang meliputi kesehatan organ-organ reproduksi, hubungan seksual, PMS, HIV/AIDS, aborsi, kehamilan, dan hal-hal lain menyangkut seksualitas remaja. Bahkan bisa mencakup upaya perlindungan remaja dan anak dari kekerasan seksual, penanganan kasus, pemulihan, dan perlindungan korban.
Sementara, Sumadji dalam artikelnya Pendidikan Seks di Indonesia, mengartikan pendidikan seks merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara mendidik mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sifat dan perbedaan kekelaminan (seks).
Sebenarnya, pendidikan seks telah ada di Indonesia. Namun, belum dilaksanakan secara formal dalam kurikulum pendidikan sebagai mata pelajaran. Materi pendidikan seks hanya disisipkan dalam mata pelajaran tertentu, misalnya Biologi pada bagian kesehatan reproduksi.
Pro Kontra Pendidikan Seks secara Formal
Penerapan pendidikan seks secara formal di sekolah masih menjadi kontroversi. Pihak yang mendukung wacana ini menyatakan bahwa pemberian informasi seksualitas kepada anak dan remaja dianggap memberi banyak manfaat. Mengutip artikel Implementasi Pendidikan Sex Pada Anak Usia Dini di Sekolah karya Sarah Emmanuel, dkk. manfaat tersebut antara lain:
a. Memberi bekal pengetahuan kepada remaja dan anak seputar masalah seksual yang benar dan jelas. Sehingga, mereka sadar akan fungsi organ reproduksi dan tahu cara menjaganya.
b. Menghindarkan remaja dan anak dari kejahatan seksual dan resiko negatif dari perilaku tidak bertanggung jawab. Contohnya, memperkenalkan bagian tubuh pribadi kepada anak sejak dini. Termasuk siapa yang boleh menyentuh dan siapa yang dilarang menyentuhnya. Hal ini untuk menumbuhkan kesadaran anak terhadap bahaya di sekelilingnya.
Kubu pro semakin yakin akan penerapan wacana ini, mengingat masih minimnya materi seksualitas, persetujuan hubungan badan dan sentuhan serta isu gender dalam pendidikan saat ini.
Wacana ini pun didukung Tiasri Wiandani dari Komisi Nasional Perempuan. Dia menyebutkan bahwa pendidikan seks merupakan salah satu program yang didorong Komnas Perempuan.
“Pendidikan seks ini kita dorong, tentunya dengan penerapan yang disesuaikan jenjang pendidikan. Tujuannya agar para siswa mengetahui tentang tubuhnya dan bisa memiliki otonomi untuk mengaturnya,” terangnya saat menjadi pembicara dalam Webinar Milenial Law Festival 2022, Senin (24/01/2022) lalu.
Di sisi lain, pihak yang kontra dengan penerapan pendidikan seks menyebut ada kekhawatiran bahwa guru berpotensi dituduh oleh masyarakat sebagai guru cabul, guru porno, guru asusila, dan sebagainya. Selain itu, sejumlah penelitian menyebut penolakan masyarakat didasari asusi bahwa seksualitas merupakan hal yang “tabu” untuk dibicarakan pada remaja dan anak.
Kubu ini pun beranggapan mereka (red: remaja dan anak), akan mengetahui dengan sendirinya saat dewasa. Bahkan pihak kontra ini khawatir bahwa pendidikan seks yang diberikan akan mendorong mereka melakukan hubungan seksual lebih dini dan cenderung menyimpang. dr Hasto Wardoyo, menyampaikan pendapat senada.
Dilansir oleh economia.id, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) saat itu, menyatakan bahwa persepsi publik masih beranggapan bahwa pendidikan seks lebih memberikan dampak negatif dibandingkan dampak positif. Inilah yang menurutnya menguatkan opini penolakan masyarakat terhadap pendidikan seks.
Penerapan Pendidikan Seksual Secara Formal
Di tengah dilema penerapan pendidikan seks ini, sejumlah pihak angkat bicara terkait solusinya.
1. Dikemas secara menarik dan memperhatikan nilai-nilai sosial masyarakat. Dilansir oleh economica.id, menurut dr. Hasto penyajian materi pendidikan seks harus dikemas menarik. Tak hanya itu, muatan harus dipilah mana yang harus disampaikan secara eksplisit dan implisit agar mudah diterima masyarakat. Menurutnya, penyampaian secara vulgar harus dihindari.
2. Penerapan berjenjang dan multilevel. Masih dari sumber yang sama, dr Hasto menyarankan agar pendidikan seks disesuaikan secara multilevel. Artinya pemberian pendidikan disesuaikan dengan kemampuan dan tahap pengembangan anak serta jenjangnya.