MALANG, Tugujatim.id – Penelitian di bidang bioinformatika medis milik peneliti asal Surabaya, Jawa Timur, Michael Pujihartono (25), sukses menyabet preidkat juara 2 di ajang bergengsi bertajuk HealtheX 2021 di Selandia Baru. Michael sukses mengalahkan ratusan kandidat doctoral lain dari berbagai penjuru negara Selandia Baru.
Bicara soal riset yang dilakukan Michael ini adalah tentang pengobatan bioinformatika (bioinformatic medicine). Untuk diketahui, bioinformatika merupakan terobosan teknologi dalam dunia medis yang masih baru di mana fokus studinya soal pengobatan penyakit kanker kulit (melanoma).
”Intinya, dengan bioinformatika ini kita bisa memprediksi kanker itu sebelum jadi kanker. Jadi sifatnya lebih ke preventif atau pencegahan daripada pengobatan,” terang Michael dihubungi reporter tugumalang.id, Rabu (13/10/2021).
Sebagai informasi, bioinformatika merupakan hasil penggabungan dari lintas disiplin ilmu, yakni ilmu biologi genetik, ilmu matematika dan ilmu komputer (computer science). Studi ini lalu dimanfaatkan untuk mempelajari proses mutasi DNA. Mutasi inilah yang akhirnya tumbuh menjadi penyakit.
”Kalau mutasi ini terjadi di sel paru jadinya kanker paru. Kalau terjadi di sel kulit jadi kanker kulit. Begitu kira-kira. Jadi, memahami kanker dari segi genetik itu sangat penting,” ujar Michael yang sedang menempuh studi S3 di Auckland University Selandia Baru ini.
Namun untuk membaca mutasi DNA ini sangatlah rumit. Dalam setiap sel manusia, kode DNA itu terdiri dari 3 milliar huruf yang jika diumpamakan waktu untuk membacanya butuh 100 tahun. Disini letak pentingnya bioinformatika dipelajari.
Dengan menggunakan data DNA dari ratusan pasien kanker, lalu dianalisa secara sistematis matematis, maka risiko kanker seseorang bisa diprediksi sejak jauh hari.
”Dengan begitu, tindakan preventif dapat dilakukan untuk mencegah kanker ini terus berkembang dan pengobatannya lebih presisi,” papar anak kedua dari 4 bersaudara ini.
Tak hanya mencegah, dengan bioinformatika juga dapat dikembangkan untuk pengobatan. Bahkan obat ini diklaim bisa bekerja lebih spesifik ke titik mutasi DNA kanker itu sendiri. Lebih presisi, tepat di sel yang bermutasi itu.
Ibarat mobil kita rusak, jika tidak diketahui sebabnya, maka dibuang saja. Tapi kalau tahu rusaknya misal kekurangan oli, ya tinggal diganti olinya. Misalnya, riset bioinformatika kanker ini bisa diimplementasikan dengan 2 cara.
”Untuk preventif bisa dicegah dengan rajin olahraga, hindari kebiasaan merokok dan lain-lain. Sudah ketauan sejak dini soalnya. Untuk pengobatan ya lebih presisi nanti,” paparnya.
Lebih lanjut, penerapan bioinformatic medicine ini di Indonesia sepengetahuan dia belum ada yang mengimplementasikan. Padahal, pengobatan bioinformatika ini sudah banyak dilakukan di luar negeri.
”Sebab itu, saya excited banget untuk bawa ini ke Indonesia cepet-cepet. Apalagi sekarang start up di Indonesia sedang aktif ya, nanti saya akan bikin start up pertamanya. Kalau selama ini ya saya liat cuman terbatas di kemoterapi saja,” harapnya.