BATU, Tugujatim.id – Bencana banjir bandang yang menerjang wilayah Desa Bulukerto, Kota Batu, hingga memakan 7 korban jiwa diduga tidak hanya karena faktor curah hujan tinggi yang mencapai 80-100 mm kubik. Tapi, diduga karena ada kaitannya dengan perubahan alih fungsi lahan.
ProFauna Indonesia menyampaikan analisis itu, yaitu sekitar 90% hutan lindung di lereng Gunung Arjuna telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, hotel, permukiman, hingga pariwisata. Dia mengatakan, ada sekitar 150 hektare hutan beralih fungsi jadi pertanian di hulu sungai di kawasan Tulungrejo dan Sumberbrantas.
”Banyak hutan lindung yang berada di lereng Gunung Arjuna telah beralih jadi lahan pertanian sayur. Padahal, seharusnya hutan lindung gunanya untuk menjadi bendungan alam dan mencegah bencana longsor,” ungkap Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid saat dihubungi Minggu (07/11/2021).
Dia menambahkan, aliran sungai yang terjadi banjir bandang mulanya adalah sungai mati. Tidak teraliri air jika tidak terjadi hujan. Namun, saat dia melakukan pemetaan kemarin ditemukan ada banyak lahan yang beralih fungsi.
”Kami khawatir ada bencana susulan karena kondisi bendungan alam di atas sudah rusak. Belum lagi juga masih ada banyak sisa pohon-pohon tumbang akibat kebakaran pada 2019 lalu,” kata Rosek.

Menurut dia, luasan hutan lindung di Malang Raya, termasuk di Kota Batu, sudah pada tahap kritis. Belum lagi kejadian kebakaran yang terjadi semakin memperparah kondisi hutan. Dalam kondisi seperti ini, dia melanjutkan, sudah waktunya rehabilitasi atau pemulihan hutan lindung.
”Bukan malah menanam pohon, bukan sayur, atau malah tanaman porang,” tegas dia.
Data serupa juga disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Batu saat ini hanya tersisa sebesar 12-15 persen. Padahal, sesuai UU Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 29 Ayat 2, luasan minimal RTH di suatu wilayah kabupaten/kota adalah 30 persen dari total luas wilayah.
Ketua Walhi Jatim Purnawan D. Negara pada Jumat (05/11/2021) memaparkan jika dalam kurun 20 tahun terakhir, 348 hektare hutan primer di Kota Batu hilang. Data terakhir yang dihimpun, eksistensi keberadaan lahan hijau dari luas 6.034,62 pada 2012 menjadi 5.279,15 hektare pada 2019.
”Banyak dari kawasan di sana sudah beralih fungsi menjadi lahan produktif untuk wisata, hotel, dan perumahan,” jelasnya.
Sementara itu, Dirut Perum Jasa Tirta I Raymond Valiant Ruritan membenarkan jika sudah banyak lahan hutan primer di Kota Batu beralih fungsi. Khususnya di bagian barat yang mengakibatkan luasan sungai menyempit.
”Perubahan tata guna lahan sudah luar biasa di bagian barat Kota Batu yang akhirnya membuat daerah tutupan lahan yang membendung luberan air menjadi berkurang,” kata dia.