SURABAYA, Tugujatim.id – Guru Besar (Gubes) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya selaku pembuat alat screening Covid-19 bernama “i-nose c-19” Prof Drs Ec Ir Riyanarto Sarno MSc PhD menyerahkan alat deteksi tersebut pada Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Surabaya. Prof Riyan kembali memaparkan bahwa i-nose c-19 itu cara kerjanya cepat, harganya murah, dan tidak berbahaya dalam penularan sampel yang dipakai.
“Dan i-nose c-19 dibutuhkan di situasi semacam ini karena ada pandemi Covid-19. Ini adalah alat screening yang cepat, murah, dan tidak berbahaya. Kalau seseorang menderita Covid-19 atau tidak, maka dikeluarkanlah penciri, penanda, atau “biomarker” melalui keringat di ketiak,” terangnya pada pewarta Tugu Jatim di RSI Jemursari Surabaya, Senin siang (22/02/2021).
Selain itu, Prof Riyan juga memaparkan bahwa alasan memakai sampel bau keringat di ketiak karena adanya beragam zat yang dapat dipakai sebagai indikator positif dan negatif dari Covid-19. Dia memakai sensor lebar agar banyak zat yang terdeteksi.
“Mengapa di ketiak? Karena di ketiak banyak kelenjar keringat, lalu ada semacam zat yang bermacam-macam dan belum diketahui di dunia medis. Penciri dari Covid-19 itu apa? Dalam jurnal internasional Januari 2021 itu belum ada. Maka kami memakai sensor yang lebar sekali untuk menangkap berbagai gejala,” imbuhnya.

Dari pemakaian sensor lebar itu, Prof Riyan melanjutkan, i-nose c-19 kemudian bisa membedakan mana zat yang dapat dipakai sebagai “biomarker” mengenai penderita Covid-19 dan yang tidak mempunyai gejala-gejala Covid-19.
“Mencirikan mana orang yang sakit dan tidak sakit, dari sensor yang banyak itu muncul biomaker yang bisa kami tangkap. Alhamdulillah, dari penciri itu bisa membedakan mana yang positif dan negatif,” tuturnya.
Akurasi i-nose c-19, Prof Riyan menyebut, sebesar 91 persen. Lantas tatkala selesai menjalankan uji profile dan uji diagnosis, akurasi akan bertambah sampai 93 persen, kemudian bisa diajukan dalam tahap pemasaran.
“Untuk akurasi mencapai 91 persen, bisa diproduksi massal. Kami sedang ada uji profile dan uji diagnosis. Setelah uji diagnosis mencapai 93 persen, maka bisa mengajukan izin edar di Kementerian Kesehatan,” ucapnya.
Prof Riyan mengatakan, kerja sama dengan RSI Jemursari, RSI Ahmad Yani, RS Dr Soetomo, dan lain-lain itu dapat dipakai untuk membantu proses uji profile dan uji diagnosis agar makin efektif dan memperoleh sampel yang ideal.
“Insya Allah dengan bantuan dari kawan-kawan rumah sakit ini, sekarang yang sudah kerja sama dengan Rumah Sakit (RS) Dr Soetomo, Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari, dan RS Ahmad Yani,” ujarnya.
Dalam acara tersebut juga dihadiri Prof Dr Ir KH Mohammad Nuh DEA selaku mantan Menteri Pendidikan Nasional periode 2009-2014. Selain itu, Prof Nuh juga sebagai ketua Yayasan RSI Surabaya. (Rangga Aji/ln)