Tugujatim.id – Tinggal hitungan hari, masa kampanye Pilpres 2024 dimulai. Tepatnya pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, selama 75 hari, masa kampanye berlangsung. Selasa malam (14/11/2023), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah mengundi, juga menetapkan nomor urut pasangan calon (paslon) presiden dan wakilnya. Hasilnya: nomor 1) paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, 2) paslon Prabowo Subianto-Gibran RR, dan 3) paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Artinya, fenomena musim politik lima tahunan bisa muncul kembali. Seperti tetangga tidak saling sapa karena beda pilihan, saling bongkar “kelemahan” lawan politik, saling sindir antar tokoh, dan lain-lainnya. Semua ini harus dihentikan, mulai sekarang. Ganti dengan: adu gagasan, bukan bongkar “kelemahan” lawan. Biar paslon berlomba-lomba untuk menawarkan program terbaiknya. Sehingga, rakyat bisa memilih dengan akal sehatnya. Bukan emosional.
Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan keresahan salah satu komika nasional, Mamat Alkatiri, runner-up Suci 7, dalam sebuah acara. Pria kelahiran 24 Juni 1992 ini pernah menyampaikan bahwa rakyat sangat rindu akan pemimpin yang adu gagasan, bukan saling bongkar “kelemahan” lawan politik. Korbannya tetap rakyat. Elitenya sudah ngopi bareng, rakyat masih belum bisa akur. Fenomena ini tidak boleh terjadi lagi, di pemilu tahun depan. Kurang lebih seperti ini keresahannya. Versi lengkapnya bisa cari sendiri di YouTube.
Keresahan ini mungkin juga dirasakan rakyat biasa, seperti kita, dan Anda, para pembaca. Tapi tidak bisa berbuat banyak. Kita, rakyat bukan ketua parpol (partai politik), yang bisa menentukan calon pemimpin. Tapi rakyat seolah hanya dijadikan “alat” oleh oknum calon pemimpin, untuk mendapatkan “kursi”. Begitu dapat kursi, lupa mengabdi.
Tidak hanya itu, tiap lima tahun, seolah rakyat juga tidak ubahnya penonton film, yang terpaksa, kadang juga dipaksa untuk menonton film yang belum tentu disukai. Bosan. Lebih tepatnya membosankan. Karena alur ceritanya itu-itu saja, mirip, kadang juga sama, dengan lima tahun sebelumnya. Bedanya hanya akting aktornya. Ada yang natural, ada yang canggung. Ada yang peduli, ada pula yang pura-pura peduli.
Pentingnya Adu Gagasan Dengan Etika (Moral)
Hanya moral (etika) yang bisa mengendalikan praktik kampanye hitam. Sehingga, semua paslon harus menjunjung tinggi etika dalam perang gagasan. Bukan saling maki, tapi memuji. Biarkan rakyat yang menilai. Moral dan gagasan siapa yang mampu memikat hati, hati seluruh warga Indonesia yang sama-sama kita cintai. Bukankah tidak ada yang sempurna di dunia ini?
Tahun 2019 lalu, harus jadi pelajaran berharga. Beda pilihan hampir merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan. Tahun depan, jangan terjadi lagi. Kita, rakyat biasa harus smart. Tidak mudah terprovokasi. Apalagi hanya dengan iming-iming janji manis oknum politisi.
Hujatan dan Pujian Tak Menentukan
Hujatan dan pujian tidak akan menentukan hasil akhir kontestasi perpolitikan tahun depan. Mungkin, hal ini bisa memengaruhi popularitas dan elektabilitas, tapi tidak akan menentukan siapa yang terpilih di Pilpres 2024. Karena yang akan menentukan adalah kehadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS).
Anda boleh sependapat, juga boleh tidak. Yang jelas: ribuan hujatan dan pujian di luar TPS akan kalah dengan 1 orang yang datang ke TPS, untuk menyampaikan hak pilihnya. Semoga! Persatuan dan kesatuan tetap kokoh di tahun politik.
Penulis: Kang Im*, seorang penulis biasa tinggal di kolong langit.
Editor: Dwi Lindawati