SURABAYA, Tugujatim.id – Pakar Literasi Media sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Putri Aisyiyah Rachma Dewi SSos MMedKom mengatakan bahwa ada dua hal yang membuat “virtual police” atau polisi virtual ditolak masyarakat. Yaitu, soal tidak adanya sosialisasi dan batasan konten yang dianggap bermasalah, itu belum jelas.
“Menurut saya, yang membuat orang akhirnya skeptis bahkan cenderung menolak keberadaan polisi virtual ini karena kurangnya sosialisasi tentang apa dan bagaimana polisi virtual itu. Selain itu, juga terkait batasan dari mana konten-konten yang dianggap bermasalah,” terang Putri pada pewarta Tugu Jatim Senin sore (01/03/2021).
Selain itu, keberadaan polisi virtual memang sempat mengagetkan masyarakat, terlihat dari konten-konten berita yang naik banyak membahas soal silang-sengkarut pengadaan polisi virtual. Putri menegaskan, masyarakat tertegun, kaget, dan geleng-geleng kepala dengan konkretnya pengawasan di dunia maya.
Also Read
“Keberadaan polisi virtual mengagetkan masyarakat, karena selama ini tidak ada di dalam benak masyarakat Indonesia bahwa pengawasan terhadap dunia maya itu sekonkret sekarang ini,” tuturnya.
Polisi virtual hadir dimaksudkan untuk memberi edukasi pada masyarakat mengenai konten yang diunggah di media sosial (medos). Namun, dia menjelaskan, pemerintah sudah bergerak terlalu jauh yang membuat panik masyarakat, terutama perihal tindakan hukum tegas bagi pelanggaran di ranah virtual.
“Ketika polisi virtual hadir, itu kan tidak hanya sekadar upaya untuk mengedukasi masyarakat. Tapi, pemerintah sudah bergerak lebih jauh bahwa ada tindakan hukum tegas bagi masyarakat yang lantas melakukan pelanggaran di ranah virtual dan ini pasti akan membuat panik,” imbuhnya.
Ada juga yang mendapat surat peringatan. Bahwa konten yang diunggah amat rentan dan potensial untuk diciduk, dijerat, dan digoreng oleh UU ITE. Putri melanjutkan, sehingga adanya polisi virtual justru membuat masyarakat tidak bisa membayangkan hajat hidup keseharian warganet nanti.
“Apalagi bagi mereka yang tiba-tiba mendapatkan surat peringatan tentang konten yang diunggah, (padahal, red) mereka yakin itu tidak pernah ada di benak mereka sama sekali,” ucapnya.
Mengingat ada sekian indikator yang masih belum jelas terkait konten apa yang bermasalah dan konten apa yang tidak bermasalah. Putri melanjutkan bahwa bakal berpotensi terjadi perbedaan pemaknaan dari pihak kepolisian dan si pengunggah konten di media sosial mengenai “konten bermasalah”.
“Karena kalau indikator ini tidak ditentukan secara jelas, pasti akan menimbulkan permasalahan di masyarakat, ada konten yang mungkin kita melihatnya, sebenarnya aman-aman saja dan itu bagian dari ekspresi, dari pendapat opini, dan ide,” lanjutnya.
Seharusnya, perlu upaya sosialisasi ke masyarakat dahulu, sebelum membuat dan memublikasikan Surat Edaran (SE) Nomor: SE/2/11/2021 oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
Selain itu, Putri juga menegaskan bahwa masih belum pahamnya sebagian lapisan mengenai perbedaan “hate speach”, “hoax“, “disinformasi”, dan lain-lain. Jadi, seharusnya memberi sosialisasi paling fundamental dulu mengenai hal tersebut.
“Namun, tiba-tiba muncul peringatan dari polisi virtual, hal-hal inilah yang mestinya diedukasi dulu ke masyarakat apa sih sebenarnya batasan ‘hate speach’ dengan kebebasan menyampaikan pendapat, lantas apa sih bedanya hoax dengan informasi,” bebernya.
“Saya yakin tidak semua masyarakat yang mempunyai akses ke dunia maya paham betul apa yang dimaksud hoax, disinformasi, fake news, dan hate speach itu,” ujarnya.
Sampai saat ini, topik mengenai polisi virtual masih menjadi pembahasan dan tema diskusi di kalangan akademisi dan pakar ilmu komunikasi, hak asasi manusia (HAM), dan literasi media digital. (Rangga Aji/ln)