KEDIRI, Tugujatim.id – Ketika kerja jurnalis meliput berita dihalangi, itu berarti menutup hak masyarakat memperoleh informasi. Begitu sebaliknya, selama pers bebas dari kontrol kekuasaan, ancaman, dan tekanan, maka akan selalu terbuka peluang untuk menyuarakan kepentingan publik.
Menyongsong peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri menyerukan kampanye terkait pentingnya kebebasan pers. Melalui momentum yang dirayakan setiap tanggal 3 Mei itu, AJI Kediri mengumandangkan pesan agar terus menegakkan marwah pers sebagai pilar demokrasi.
Perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia oleh AJI Kediri digelar lewat rentetan kegiatan dengan berbagai konsep. Acara diawali penyematan pita putih kepada jurnalis, tokoh publik dan warga Kediri.
“Pita putih itu menjadi simbol solidaritas atas kasus kekerasan yang dialami Nurhadi, jurnalis Tempo di Surabaya,” kata Danu Sukendro, Ketua AJI Kediri, Jumat (23/4/2021).
Danu menambahkan, kampanye dilanjut dengan membagikan takjil, selebaran, dan stiker, serta penggalangan tanda tangan pakta dukungan untuk Kebebasan Pers di Sekretariat AJI Kediri pada 23 April 2021.
Kampanye untuk Jurnalis Korban Kekerasan Nurhadi
Tak hanya itu, kampanye juga diakukan melalui platform digital berisi flyer dan video puisi untuk Nurhadi yang dimulai 23 April 2021.
Kampanye dengan pesan serupa dilangsungkan di Tulungagung dengan aksi teatrikal pada 1 Mei 2021, dan ditutup dengan malam 1000 Puisi untuk Nurhadi 3 Mei 2021.
“Lewat kampanye itu publik harus tahu bahwa kebebasan pers ikut menentukan kualitas hidup bermasyarakat dan bernegara,” ujar Danu.
Menurutnya, kebebasan pers dan kepentingan publik tidak bisa dipisahkan, harus saling mendukung. Salah satunya dalam membangun kultur transparansi dan akuntabilitas dalam berjalannya penyelenggaraan negara. Itulah sebabnya isu-isu terkait kepentingan publik harus dijamin, melalui kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis Didominasi Aparat Penegak Hukum
Beberapa waktu terakhir, fungsi penting pers dalam kehidupan demokrasi mendapat tantangan cukup berat. Kerja-kerja jurnalis kerap mendapat tindakan represi. Mulai dari kekerasan fisik, pengusiran, perempasan alat kerja, hingga doxing dan pemidanaan. Ironisnya, para pelaku didominasi aparat keamanan sebagai penegak hukum.
Catatan lembaga penegak hukum (LBH) Pers, ada 117 kasus kekerasan yang dialami jurnalis dan media pada 2020. Adapun rinciannya, 99 kasus kekerasan dialami jurnalis, 12 kasus kekerasan pada Pers mahasiswa, dan enam kasus menyasar media siber. Data itu mengalami kenaikan sebesar 32 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2019, LBH Pers merangkum kasus kekerasan ada 79 kasus.
Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, disebutkan adanya kenaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis, rentang waktu tahun 2019 hingga 2020. Jumlah kenaikannya sebanyak 31 kasus. Dari 53 kasus pada 2019 menjadi 84 kasus di 2020. Meningkatnya angka kekerasan itu menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi. Hal itu menjadi penanda jika saat ini kondisi pers di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Kasus paling baru adalah kekerasan yang menimpa Nurhadi, jurnalis Tempo di Surabaya. Dia tidak hanya diintimidasi tetapi menjadi sasaran pengeroyokan saat menjalani tugas sebagai jurnalis. Kekerasan terhadap Nurhadi ini bukti nyata kebebasan pers belum sepenuhnya dinikmati para pekerja media.
“Dari kasus itulah, perlu kampanye massif sebagai upaya melawan arogansi aparat yang menghalangi hak publik mendapatkan informasi,” ujar Danu.
Kampanye yang berlangsung serentak di seluruh anggota AJI Kota itu digelar sebagai upaya mengajak masyarakat turut serta mendesak penegak hukum dalam penuntasan kasus penganiayaan jurnalis.
Hal yang tak kalah penting yaitu menggalang dukungan semua elemen masyarakat untuk menyerukan pesan tentang pers bebas tanpa represi.