“Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya” – Al-Hujwiri
Kutipan kalimat dari Al-Hujwiri ini dengan jelas seolah merangkum isi buku yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini. Buku dengan judul “Tuhan Tidak Perlu Dibela” ini memang menarik untuk dibaca cukup dengan melihat judulnya saja. Kebanyakan orang akan bertanya-tanya mengapa Gus Dur menuliskan judul demikian padahal kita tentu diperintahkan untuk selalu berjihad di jalan Allah.
Baca Juga: Mau Belanja Aman di Online Shop? Tips-tips Ini Wajib Anda Ketahui!
Buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela” merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Gus Dur di kolom Tempo pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an. Dalam buku setebal 312 halaman ini, terdapat 3 bab yang merangkum pemikiran Gus Dur tentang konsep beragama (Islam) di Indonesia.
Pada intinya, Gus Dur mengungkapkan pemikirannya tentang pengetahuan, pemikiran, dan gerakan oleh sejumlah komunitas muslim yang pada saat itu lebih menunjukkan sikap sektarianisme (bentuk diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik). Dirangkum dalam artikel-artikel yang termuat dalam tiga bab Gus Dur dengan jelas mengedepankan semangat kemanusiaan, kebersamaan, keadilan, dan demokratisasi dalam menyikapi persoalan di Indonesia.
Indonesia yang memiliki banyak perbedaan baik dalam hal budaya, agama, maupun tradisi adalah sebuah anugerah sekaligus tantangan. Oleh karena itu konsep beragama pun juga tetap harus mengedepankan rasa toleransi antar umat beragama. Dengan sikapnya yang arif, Gus Dur mengajak pembaca untuk tidak saling merendahkan agama lain. Hal ini tercermin dalam artikel dengan judul Tuhan Tidak Perlu Dibela bahwa “Allah adalah zat yang Maha Besar”. Artinya seperti apapun penilaian manusia atas Allah, sama sekali tidak akan mempengaruhi kebesaran dan keagunganNya di semesta alam ini.
Baca Juga: Wisata Negeri Atas Air, Rumah Minimalis yang Instagramable di Bojonegoro
Selain itu, buku ini juga menghadirkan tulisan Gus Dur terkait persoalan beragama yang masih saja diperdebatkan oleh masyarakat beragama di Indonesia. Sampai saat ini, persoalan Fatwa Natal masih menjadi pembicaraan di tengah masyarakat. Setiap menjelang Natal di bulan Desember, isu ini terus diangkat sampai membuat sejumlah keresahan.
Dalam artikel Gus Dur, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa natal bahwa umat Islam dilarang hadir dalam perayaan agama lain. Fatwa ini menjadi persoalan yang cukup pelik sampai membuat Buya Hamka melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI. Melalui artikelnya, Gus Dur mengkritik bahwa memang MUI harus bisa menemukan pangkal persoalannya.
Menurut Gus Dur, lembaga MUI seharusnya memiliki pedoman terhadap persoalan-persoalan apa saja yang patut untuk menjadi wilayah bahasannya. Daripada terus sibuk membahas fatwa natal, Gus Dur menyarankan agar MUI lebih fokus pada persoalan mendasar yang dialami bangsa Indonesia, seperti pemecahan masalah kemiskinan dalam masyarakat menurut pandangan agama, pengentasan kebodohan dan pemerataan pendidikan. Solusi yang diberikan pun juga harus konkrit dan tidak hanya mengacu pada beberapa hadits saja.
Baca Juga: Soto Sewu Bojonegoro, Soto Super Murah Seporsi Hanya Rp 1.000
Kepedulian Gus Dur dalam membangun bangsa Indonesia dengan semangat kemanusiaan memang selalu mengedepankan kedamaian dan keselamatan bagi setiap pihak. Oleh karena itu, Gus Dur juga tidak menyarankan adanya pembaruan-pembaruan di bangsa Indonesia yang mengarah pada terbentuknya negara Islam seperti di Arab.
Bagi Gus Dur, Indonesia harus tetap mempertahankan lokalitas budayanya. Oleh karena itu, beliau menggunakan istilah “pribumisasi Islam” karena pada hakikatnya yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islamnya, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Akan tetapi tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya.
Buku ini sangat cocok untuk dibaca bagi siapapun yang ingin mendalami pemikiran Gus Dur dalam melihat konsep Islam, budaya, politik, demokrasi, dan kebangsaan. Sosoknya yang sederhana dan bijak akan mengajak pembaca untuk menilai sebuah peristiwa dari sudut pandang lain. Bahasa yang digunakan dalam buku ini memang cukup sulit untuk dipahami jadi jangan terburu-buru saat membaca buku ini.
Baca Juga: Mengenang Sosok Gus Dur: Pluralisme dan Cerita Tentang Papua
Berikut kalimat kutipan dari buku ini untuk mengakhiri review buku kali ini.
“Kebenaran Allah tidak berkurang sedikitpun dengan adnaya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak ketika dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.” – hal.56. (Andita Eka W/gg)
Referensi: santrigusdur.com