MALANG, Tugujatim.id – Fenomena menikah di usia muda menjadi bahasan yang selalu akan terus ada. Karena hingga kini, beragam solusi untuk bisa meredam hal itu belum maksimal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2022 menunjukkan bahwa 33,76 persen usia pernikahan pertama pemuda di rentang 19-21 tahun, sebanyak 27,07 persen memiliki usia menikah pertama pada usia 22-24 tahun, sekitar 19,24 persen dari pemuda Indonesia pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun.
Berdasar data ini, Psikolog dari Pusat Bimbingan Konseling, Karier, dan Kewirausahaan LPPP Universitas Negeri Malang (UM), Dr Hetti Rahmawati MSi mengatakan bahwa rentang usia yang terbilang masih muda rentan dengan masalah kesehatan reproduksi dan juga mental psikologis setiap pasangan. Sehingga pasangan muda ini secara psikologis belum siap menjalani bahtera rumah tangga dan belum siap menjadi orang tua.
“Di rentang usia ini, di bawah 18 tahun termasuk pernikahan dini yang rentan dengan masalah kesehatan reproduksi dan mental psikologis. Mereka belum siap untuk bertanggung jawab menjadi orang tua,” ucap Hetti, pada Jumat (02/06/2023).
Hetti juga mengatakan bahwa usia mental psikologis di bawah usia 19 tahun yang tentunya masih labil berpotensi kurang terkendali dalam pola asuh anak.
Problem yang juga menghantui para ibu muda hasil dari pernikahan dini adalah kesehatan mental saat ibu muda melahirkan seorang anak. Di mana akan menimbulkan banyak masalah yang tentunya sangat pelik.
“Beberapa gejala yang muncul seperti baby blues, relasi tidak stabil atau toxic dengan pasangan karena dipicu respon tanggung jawab minim, atau belum dewasa menyikapi tanggung jawab. Kasus depresi, kekerasan verbal dan fisik karena relasi yang belum cukup dewasa juga akan timbul,” sebut Dosen UM itu.
Selain itu, resiko yang akan menghantui yakni masalah finansial yang nantinya akan berimbas pada rendahnya kualitas gizi bagi calon anak.
Selain potensi buruk terhadap masalah finansial, pernikahan dini juga beresiko menempatkan posisi perempuan pada masa kehamilan dan kondisi kesehatan yang cukup besar dibandingkan dengan pernikahan yang sudah cukup umur.
Maka dari itu, pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memberi rekomendasi usia ideal pernikahan bagi laki-laki dan juga perempuan. “Karena itu BKKBN merekomendasikan usia ideal untuk laki-laki sebaiknya menikah di usia minimal 25 tahun dan perempuan saat menikah telah berusia minimal 21 tahun,” jelasnya.
Hetti juga menyampaikan bahwa beberapa upaya untuk bisa meredam atau mencegah pernikahan dini terjadi adalah perlunya intensifitas edukasi atau pengetahuan kepada para remaja tentang kesehatan reproduksi dan edukasi pentingnya pasangan sebelum masuk jenjang pernikahan.
“Sehingga sikap dan cara pandang tentang keluarga membangun kedewasaan mereka agar tidak terburu buru memutuskan menikah di usia belum cukup umur,” beber Hetti.
Sejatinya, masih menurut Hetti, penyuluhan bagi remaja di berbagai sekolah tentang resiko akibat yang ditimbulkan dari pernikahan dini dan juga melalui beragam komunitas telah dilakukan. Namun semua itu akan percuma jika masyarakat tidak turut serta untuk bersinergi. “Namun kerja sama dari elemen masyarakat dibutuhkan dalam keberlanjutan program ini,” ucapnya.
Jika pernikahan dini akhirnya terjadi dalam suatu keluarga, sebagai psikolog, Hetti memberi masukan kepada orang tua dari para remaja itu agar memperkuat bantuan secara sosial dan bukan mengambil alih keseluruhan tanggung jawab dari pasangan muda itu.
“Saran kami agar perkuat support sosial. Misal orang tua yang punya anak menikah muda secara fleksibel bersikap lebih bijak secukupnya dalam membantu, bukan mengambil alih keseluruhan tanggung jawab pasangan muda baru ini,” tandasnya.(ads)