Tugujatim.id – Senin sore (27/06/22), langit tampak mendung namun tidak menyurutkan semangat saya untuk bersilaturahmi dengan wartawan perempuan, Hanum Oktavia Rosyidah.
Kami sempat membuat janji sebelumnya, namun diundur karena berbagai kesibukan Mbak Hanum, saya memanggilnya. Namun akhirnya, saya bertemu dengan reporter 33 tahun ini di tempat kerjanya, Kantor RRI Malang di Jalan Candi Panggung, Mojolangu, Lowokwaru, Kota Malang, sekitar pukul 3 sore.
Saya dipersilahkan masuk ke ruang redaksi bernuansa putih. Dia menyuguhkan air buat saya. Perbincangan pun mengalir.
“Dari SMA, saya memang hobi menulis. Sedari dulu memang tertarik dengan dunia berbau jurnalistik, bukan fiksi seperti novel. Saat lulus SMA, saya memutuskan lebih fokus dengan mengambil D3 Broadcasting di Polinema. Untungnya saat ini semua berjalan seperti yang saya cita-citakan semenjak SMA,” kenang Hanum tersenyum.
Perempuan kelahiran Oktober itu bukan anak bawang lagi di dunia jurnalistik. Dia sudah berkarir di dunia jurnalistik selama lebih dari 13 tahun. Bahkan, reporter yang melanjutkan S1 di IKIP Budi Utomo ini pernah meliput berita bersama CEO Tugu Media Group, Irham Thoriq, saat masih menjadi wartawan.
Sejak 2009 hingga 2010, Hanum bekerja di media cetak bernama Surabaya Pagi. Lalu 2010-2012, dia masuk di media radio swasta bernama FM Malang, 2012-2015 berkecimpung di media online beritajatim.com, dan dari 2015 hingga kini sebagai reporter di RRI Kota Malang.
Dalam kesempatan itu, Hanum juga menceritakan beberapa hal tidak menyenangkan selama menjadi wartawan.
“Pernah ada saya menghubungi narasumber untuk keperluan wawancara, namun balasannya malah mengajak bertemu di tempat yang menjurus ke arah tidak baik. Namun kembali lagi, itu adalah resiko menjadi seorang wartawan. Yang harus saya lakukan tidak perlu memasukan ke dalam hati,” ujarnya.
Menurut Hamum, selain dari sisi tempat kerja yang positif, keluarga turut mendukung profesinya sebagai reporter. Dia kini miliki anak berusia 7 tahun. Suaminya juga pernah menjadi wartawan. Hanum mengaku pernah berjuang saat mengandung sambil memenuhi panggilan kerja.
“Karena hingga hamil usia 7 bulan masih nyetir sendiri kemana-kemana buat liputan, akhirnya divonis dokter kena plasenta previa. Akibatnya harus bedrest dan melahirkan secara prematur. Beruntung bayinya sehat meski lahir prematur,” ungkapnya.
Perbincangan kian gayeng. Saya semakin semangat bertanya terutama saat Hanum masih wartawan muda. Dia bercerita, saat itu masih mendapat gaji Rp 300 ribu per bulan dan hanya mengutamakan meraih mimpi untuk terjun ke dunia jurnalis yang sesungguhnya.
“Jadi sekitar 10 tahun yang lalu, saya pernah meliput suatu berita dugaan pencurian. Si terduga tidak menerima, dia merasa disalahkan padahal saat itu putusan pengadilan bahkan belum turun. Terlebih lagi, saya juga menulis berdasarkan sumber yang valid dari satpam, korban, dan saksi. Jadi saya didatangi dia beramai-ramai dengan teman-temannya, sampai mengikuti juga. Tapi saya bersyukur ada teman-teman wartawan yang membela,” ujarnya.
Saya mendengarkan dengan seksama. Sebagai wartawan junior yang istilahnya baru menetas, saya jadi tahu dunia wartawan ternyata penuh dengan resiko dan tantangan yang cukup ekstrim lebih dari yang saya kira.
Pelajaran penting juga saya petik dari cerita Hanum, bahwa lahir di era serba canggih seperti ini sungguh menguntungkan. Media untuk mencari isu, menggali sumber berita semua ada di internet. Perangkat penunjang seperti kamera dan recorder juga sudah bisa dicover dengan smartphone.
Di akhir perbincangan, Hanum menyempatkan memberi pesan kepada seluruh wartawan wanita.
“Tetap semangat, sebagai perempuan memang kodratnya adalah menjadi ibu dan istri, tapi jangan sampai kodrat itu menghalangi cita-cita kita. Seimbangkan hidup, sesuai kodrat, tapi passion tetap tersalurkan,” katanya.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim