Penulis: Rangga Aji*
Tugujatim.id – Teleponku berdering, ada nama ‘Tugu Jatim Mas Gigih’ tampak di layar ponsel. Lokasiku sudat dekat dengan rumahnya di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Sudah berputar dua kali, melihat satu per satu rumah tapi belum bertemu. Mas Gigih melambaikan tangan, tampak dari kejauhan. “Oh ternyata rumahnya di situ, kita kebablasan, mbut!” terangku pada Lembut, mahasiswa Unair yang aku ajak silaturahmi ke rumah Mas Gigih.
Perjalanan dari kantor Tugu Media Group di Jalan Dirgantara A1/12B Kedungkandang Kota Malang ke Kecamatan Turen Kabupaten Malang memperlukan waktu sekitar 40 menit perjalanan. Berangkat pukul 09.00 WIB, sampai rumah Mas Gigih sekitar pukul 09.40 WIB. Tapi, di saat perjalanan tidak terasa jauh, mungkin karena hawa di Malang begitu sejuk sembari mengamati rumah-rumah yang begitu teduh.
Kami disambut hangat oleh Mas Gigih yang sudah menunggu di halaman rumah. Aku suka tata letak rumah Mas Gigih, ada halaman, ada taman kecil di depan dan sebelah kiri rumah ada jalan menuju belakang. Hati dan pikiran jadi tenteram dan tenang, entah mengapa. Lalu kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamunya.
Ada berbagai jamuan di atas meja, ada juga tahu bakso dan teh hangat. Di dinding rumah Mas Gigih, ada fotonya semasa kuliah dulu. Memakai jaket juning, almamater Universitas Indonesia (UI), swafoto di depan Alun-Alun Tugu Malang. Lalu, di sampingnya, ada foto kakak perempuan Mas Gigih yang juga berswafoto bersama teman-teman Universitas Airlangga (Unair) saat menjadi mahasiswi dulu.
Kami memulai bercakap-cakap soal situasi pandemi Covid-19 di Kota Surabaya. Aku dan Lembut bilang, PPKM Darurat di Surabaya mewajibkan semua toko, mall, pusat belanja dan lokasi potensi kerumunan untuk tutup pada pukul 17.00 WIB. Tapi, ketika sampai di Kota Malang kemarin (04/07/2021), ternyata pukul 17.30 WIB justru pedagang baru saja membuka warungnya. Kami tanya di salah satu pedagang, “Kota Malang PPKM Darurat diwajibkan tutup pukul 20.00 WIB,” jawabnya.
Mas Gigih kemudian cerita soal pengalaman kuliahnya di UI, Depok. Mulai dari suasana naik kereta yang berdesak-desakan, perjalanan dari Depon ke Malang yang hampir seharian penuh. Kadang memang bosan, tapi bagaimana lagi? Kalau naik pesawat harganya agak tinggi, kecuali saat situasi mendadak. Mas Gigih juga pulang kampung ke Malang sekitar 6 bulan sekali saat masih kuliah dulu.
Yang menarik saat kuliah di UI, cerita Mas Gigih, kita menemukan berbagai pola berpikir yang menarik dari mahasiswa-mahasiswi. Karena di UI memang, tempat berkumpulnya berbagai orang dari seluruh wilayah di Indonesia, dari Sumatera sampai Papua ada semua. Aku membayangkan, bagaimana kayanya keberagaman yang ada di UI? Pasti amat menarik saat bahas kebudayaan mereka masing-masing.
Selain itu, Mas Gigih juga cerita soal pengalamannya dulu saat menjadi wartawan di Radar Malang. Ada sekitar 2 tahunan. Sebelum menjadi wartawan di Tugu Malang ID dan kemudian menjadi Redaktur di Tugu Jatim ID sekarang. Mas Gigih cerita bahwa hampir tiap hari dia menulis sekitar 10-12 berita per hari di Radar Malang. Kendati target dari kantor hanya 4 berita saja.
Pernah juga berangkat pagi sekali untuk liputan. Setelah itu sore harinya ke kantor, untuk menyetorkan tulisan dan menunggu editor selesai menyunting. Wartawan wajib ada di samping editor, untuk berjaga apabila data yang ada di berita kurang, editor tersebut bisa meminta bantuan wartawan untuk menggali data sebagai upaya kelengkapan. Hingga berita itu sudah selesai diedit, pernah sampai pukul 22.00 WIB atau tengah malam sekali.
Bahkan, cerita Mas Gigih, saat momen puasa pernah sampai berbuka dan sahur di kantor Radar Malang. Bekerjanya hampir 24 jam dengan ritme yang menurutku agak ‘menyeramkan’. Tentu, dari cerita Mas Gigih itu, merupakan sebuah cerminan bahwa berbagai berita yang tayang di media arus utama, merupakan hasil dari jerih payah wartawan yang begitu totalitas. Agar informasi yang disampaikan ke khalayak pembaca dapat tersaji dengan akurat dan bisa dipercaya.
Tahu bakso yang disuguhkan keluarga Mas Gigih, aku nikmati. Rasanya enak. Sepertinya buatan orang rumah sendiri. Ditemani juga teh hangat, bekal menghangatkan tubuh dari hawa dingin di Kabupaten Malang. Yang aku sendiri belum terbiasa dengan hawa sejuk semacam itu.
Setelah banyak bercakap-cakap dengan Mas Gigih, aku meminta Lembut untuk mengambil foto kami berdua. Aku pikir silaturahmi memang kebiasaan baik yang perlu dibudayakan, karena bercakap-cakap melalui pesan WhatsApp saja, tidak bisa dipakai bekal untuk menjalin kekerabatan yang begitu hangat. Bertemu dalam momenum rapat ‘online’ saja, juga kurang menciptakan kedekatan dalam dimensi “vibrasi”, antar sesama manusia.
“Mbut, minggu depan, kita silaturahmi ke rumah siapa lagi ya?” tanyaku pada Lembut, tapi di dalam hati.
*Penulis adalah Pewarta Tugu Jatim ID area Surabaya