MALANG – Sebanyak 61 orang tua siswa di Malang mengadu ke Malang Corruption Watch (MCW). Hal tersebut dilatari karena pihak Pemkot Malang tidak memberikan bantuan pulsa kepada orang tua siswa untuk bisa mengikuti pembelajaran atau sekolah secara daring.
Berdasarkan data yang dihimpun MCW, hingga saat ini total ada sekitar 61 aduan dari orang tua dan mahasiswa di wilayah Malang Raya yang diterima. Dari sekian aduan itu, kebanyakan orang tua mengaku tidak mendapatkan dana BOS untuk pembelian pulsa/paket data.
Untuk diketahui, pada masa pandemi COVID-19 ini memaksa sistem pendidikan berjalan secara dalam jaringan, online, atau daring. Namun, ternyata dalam pelaksanaannya menemukan banyak masalah. Utamanya dalam hal keterbatasan akses paket kuota atau pulsa internet.
”Ada juga yang cuma dapat sekali di periode Juni-Juli saja. Ada yang dapat pulsa Rp 50.000, ada yang dapat Rp 25.000. Keluhan lainnya juga ada soal kapasitas ponsel yang tidak mendukung proses sekolah daring,” ungkap Ibnu Syamsu, Badan Pekerja MCW, Jumat (14/8/2020).
Di kondisi perekonomian selama pandemi ini, lanjut Ibnu, kesulitan wali siswa semakin berlipat ganda. Selain harus tetap memenuhi kebutuhan pokok, kini juga harus menambah alokasi dana untuk sekolah daring.
”Belum lagi, beban semakin berat diemban wali siswa yang tidak mampu. Dan apalagi ini sejak pandemi sudah berjalan 5 bulan dan masih tidak ada upaya serius soal itu,” tambahnya.
Dari banyaknya aduan ini, MCW menilai bahwa ada sejumlah kejanggalan soal relokasi dana BOS yang seharusnya bisa diperuntukkan untuk bantuan pulsa ini tidak dijalankan pihak sekolah.
Padahal, hal ini sudah diatur dalam Permendikbud 19/2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Dana BOS untuk dana bantuan paket data. Bahkan juga bisa dialihkan untuk pembelian APD.
”Permendikbud sendiri juga belum dicabut yang artinya harus dijalankan oleh pemerintah. Jika tidak, maka ada unsur kesengajaan pemerintah melawan hukum,” tegasnya.
Dari berbagai konfrontasi yang dilakukan MCW pun, pemerintah seolah tidak pikir pusing. Argumentasi yang ditawarkan kata Ibnu sifatnya hanya formalitas dan pembenaran semata.
”’Seperti realokasi dan refocusing dana butuh waktu, kata mereka. Nanti akan ditindaklanjuti. Dalam hal ini pemerintah tidak punya sense of crisis. Ada kesan pembiaran warganya menderita,” katanya.
Pihak MCW juga berharap pandemi tidak menjadi alasan pemerintah untuk tidak menaruh perhatian utama dalam pendidikan. Taruhannya besar, kata dia yakni kegagalan generasi pelajar Indonesia memperoleh pendidikan.
”Jangan biarkan calon generasi penerus bangsa kita kesulitan. Pemerintah tak boleh putus asa dalam merumuskan suatu kebijakan. Harus ada upaya responsif dan proaktif. Jangan nunggu wali siswa mengeluh dulu, baru gerak,” terangnya.
Ia menambahkan, wacana kebijakan Pemkot Malang yakni kembali melangsungkan sistem pendidikan secara tatap muka dalam waktu dekat. Menurut dia, hal ini jelas berbahaya mengingat pertumbuhan angka kasus COVID-19 di Kota Malang masih terus meningkat.
Hingga hari ini, peningkatan persebaran virus di Kota Malang masih sangat tinggi. Oleh karena itu, pihak MCW juga mengkhawatirkan adanya sebaran baru.
”Alih-alih menekan persebaran virus, upaya pembelajaran kembali tatap muka justru dikhawatirkan menjadi potensi baru terjadinya klaster COVID-19,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Wali Kota Malang Sutiaji memang berencana mengembalikan sistem belajar tatap muka, sekalipun Kota Malang masih berstatus Zona Merah. Sebagai persiapan, Pemkot berencana akan menggelar simulasi sekolah tatap muka hanya di 10 sekolah pilihan.
Sutiaji mengatakan, kendati belum ada instruksi dari pusat, simulasi sekolah tatap muka dirasa perlu. Karena itu, sejumlah persiapan lebih dini perlu disiapkan dalam menyambut persekolahan di era Kenormalan Baru.
”Sehingga, ketika memang nanti ada anjuran dari pusat, maka sekolah di Kota Malang telah siap dijalankan,” ungkapnya beberapa waktu lalu.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Gigih Mazda