Oleh: Moch Cholil*
Budaya merupakan salah satu karakter yang melekat dari suatu daerah itu sendiri. Kini banyak budaya yang mulai tenggelam dengan adanya teknologi, serangan budaya luar yang menginflasi budaya sendiri. Fanatik terhadap suatu budaya luar merupakan titik awal menghilangnya budaya asli bangsa ini dari muka bumi. Berbagai budaya kini telah tenggelam bahkan anak-anak tidak lagi tahu mengenai berbagai budaya yang dulu telah dilestarikan nenek moyang kita.
Jika melihat zaman sekarang ini, banyak pemuda-pemudi bangsa lebih mencintai budaya barat atau pun yang sekarang lagi tranding yakni musik atau drama korea. Bahkan lagu daerah sendiri mulai terlupakan oleh mereka. Tontonan seperti ini sekarang sangatlah disenangi oleh kaum muda zaman sekarang dari pada dengan tontonan budaya klasik bangsa ini. Seperti wayang kulit, jaranan, reog dan lain sebagainya.
Dalam hal ini saya kan ambil fokus terhadap “Wayang Kulit”. Budaya Jawa yang telah ada sejak 1500 sebelum masehi. Wayang kulit itu sendiri merupakan produk budaya yang telah ada jauh sebelum Islam masuk di Indonesia dan sampai saat ini keberadaanya masih terus dipertahankan.
Kedatangan agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, mendesak terjadinya perubahan budaya yang cukup besar, baik menyangkut tingkah laku manusia maupun hasil budayanya. Namun, dalam kelangsungannya wayang kulit mengalami perubahan yang signifikan, baik itu menyangkut bentuk maupun pemaknaannya.
Wayang kulit purwa yang telah menemukan bentuknya pada masa Hindu Jawa, pada masa Islam mengalami perubahan dari berbagai bidang, mulai dari tampilan wujud, fungsi, maupun ceritanya yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran dan aturan dalam agama Islam. Memasuki masa Islam di Indonesia, wayang kulit purwa berkembang pesat setelah terjadinya akulturasi budaya antara ajaran Hindu dan Islam, sehingga bentuk wayang kulit menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya.
Wayang kulit yang ditampilkan dalam masa Islam di Indonesia ini berkembang terutama daerah Jawa Tengah, Jawa Timur termasuk juga Madura, dan Yogyakarta, serta daerah-daerah lain yang tersentuh pengaruh agama Islam. Jenis wayang kulit purwa ini tetap lestari dan hidup hingga sekarang serta menjadi sumber ide dalam penciptaan bentuk wayang kulit baru yang sesuai dengan jiwa dan perkembangan zaman saat ini.
Adapun salah satu tokoh islam yang mempopulerkan kesenian wayang kulit yakni Raden said atau lebih dikenal dengan sebutan “Sunan Kali Jaga”, yang dalam hal ini beliau pergunakan wayang kulit sebagai alat dakwahnya.
Wayang kulit lahir, tumbuh, hidup dan berkembang di Indonesia, kemudian menyebar ke antero dunia. Tidak salah jika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bagian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) menetapkan wayang kulit sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.
Berbicara tentang wayang kulit, mungkin saat ini telah jarang ada yang namanya pertunjukan dari kesenian ini. Kapan terakhir kalian melihat pertunjukan wayang kulit didaerah mu?
Pasti kebanyakan jawabanya udah lama waktu masih kecil kak, ada juga yang jawab gak pernah lihat, dan pasti first impression mereka ketika pertama kali melihat wayang kulit ialah membosankan, tidak paham bahasanya konotasinya selalu kearah yang negatif. Sedangkan bagi nenek moyang kita itu pertunjukan yang sangat keren, bagus, asyik yang konotasinya selalu kearah yang positif.
Mengapa begitu? Apa yang salah dengan generasi saat ini? Apa wayang kulit benar-benar akan ditenggelamkan oleh zaman?
Kemuculan pertunjukan wayang kulit yang saat ini sangatlah jarang, pasti akan menimbulkan berbagai pertanyaan terhadap eksistensinya dalam dunia kesenian. Memasuki era digital serta modernisasi seperti ini, eksistensi wayang kulit dalam kondisi terancam. Bagi pemuda generasi sekarang, pastinya sedikit saja yang mau menikmati dan melestarikannya. Serta kebanyakan dari meraka, lebih suka terhadap budaya asing maupun budaya lokal yang lebih modern dan ngetrend daripada budaya tradisonal. Seperti apa yang saya kutip diatas.
Walaupun demikian, sebagai penerus pemegang tongkat estafet kita harus memikirkan bagaimana cara agar eksistensi wayang kulit didunia kesenian bisa naik kembali. Dalam hal ini, kita juga harus bisa melihat realita yang ada. Sebagaimana yang telah dilakukan para Wali Sanga dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa, yakni dengan memadukan budaya Hindu dan Islam.
Pada zaman modern ini, salah satu cara yang perlu kita lakukan adalah dengan membuat terobosan baru yang akan membuat para pemuda dapat lebih tertarik kembali dengan wayang kulit. Seperti dengan mengadaptasi cerita baru, memasukkan unsur baru, aransemen iringan musik yang lebih modern. Atau juga kita dapat menampilkan pertunjukan wayang kulit sesering mungkin terutama di tempat yang menjadi titik kumpul masyarakan terutama golongan muda seperti alun-alun dan tempat keramaian lainnya. Hal ini akan sukses jika adanya campur tangan pemerintah serta dukungannya demi keberlangsungan kesenian wayang kulit ini sendiri.
Media yang ada pada zaman ini bisa kita manfaatkan juga untuk publikasi budaya bangsa khususnya wayang kulit itu sendiri. Misalnya dengan cara merekan pertunjukan wayang kulit serta ditayangkan di televisi dan bisa disimpan dalam bentuk digital, sehingga bisa ditonton semua masyarakat, dinikmati, dan diapresiasi kapan saja serta dimana saja.
Selain itu, cerita wayang kulit juga perlu diceritakan dalam bentuk tulisan baik itu berupa buku ataupun dimuat pada media-media digital serta juga dapat diterbitkan oleh media cetak seperti koran, majalah, dan tabloid. Dengan adanya media teknologi modern seperti saat ini, saya meyakini bahwa wayang kulit akan tetap eksis, memiliki daya saing dan bisa kembali dinikmati dengan berbagai cara dan dimana semua orang berada.
Pesan terakhir yang ingin saya sampaikan, “budaya sendiri terkadang memang terasa membosankan ketika adanya budaya luar yang masuk pada kita. Namun apa salahnya kita menjunjung tinggi budaya sendiri dan membawanya bersama kita ke masa depan guna terus menghidupkan budaya ini untuk anak moyang kita nanti. Jadi jangan pernah kita terlena dengan budaya luar yang menyerang diri kita ini. Selalu cintailah apa yang kita punya karena jika kita tidak mencintainya orang lain akan merebutnya.
*Penulis merupakan Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) IAI Al-Qolam Malang