MALANG, Tugujatim.id – Dalam sepekan lalu, Kota Malang dihebohkan dengan kabar tindakan bunuh diri seseorang yang melompat dari atas jembatan Soekarno Hatta.
Satu orang dinyatakan tewas oleh pihak kepolisian. Ia adalah seorang remaja berinisial TJS (17). TJS sebelumnya pernah melakukan percobaan bunuh diri di tempat yang sama pada Agustus 2022 silam, namun berhasil digagalkan oleh warga.
Beberapa hari kemudian, pada Minggu (28/05/2023), beredar video seorang warga yang menyelamatkan seorang perempuan yang tengah duduk di pembatas jembatan di kawasan Soekarno Hatta, beruntung perempuan itu berhasil diselamatkan oleh warga.
Tak berselang lama, masih di hari yang sama, di sebuah kontrakan di Kota Malang, seorang mahasiswi juga melakukan percobaan bunuh diri dengan meminum cairan pembersih, beruntung warga yang mendengar hal itu langsung sigap menolong.
Melihat fenomena tersebut, Psikolog di Pusat Bimbingan Konseling, Karier dan Kewirausahaan LPPP Universitas Negeri Malang (UM), Dr Hetti Rahmawati MSi mencoba mengurai serta memberikan cara preventif agar tindakan bunuh diri bisa dicegah sedini mungkin.
Ada tiga langkah yang diurai olehnya, yakni:
1. Bangun komunikasi
Hetti mengatakan jika gejala awal seorang remaja terindikasi bisa melakukan tindakan bunuh diri, seperti perubahan nafsu makan, gangguan konsetrasi, kurang fokus, mudah lupa, mudah tersinggung, lebih pendiam, ada gejala stres ataupun kecemasan, serta wajah anak murung, tampak sedih, dan suka menyendiri.
Jika didapati kondisi seperti di atas, orang tua perlu lebih peduli dengan perubahan gejala perilaku anak remajanya yang sedang memiliki persoalan kondisi kesehatan mental. Untuk itu, perlu dekati dan rengkuh anak bila kita dapati gejala tersebut.
“Langkah pertama, orang tua perlu membuka percakapan dengan anak remajanya tentang masalahnya. Mendengarkan dan memvalidasi atau mengakui keberadaan emosi negatif pada anak. Peka dengan anak yang tampak mengisolasi diri atau berbeda dari tingkah biasanya. Yang biasanya tenang atau periang menjadi tampak gelisah dan mudah tersinggung,” ucapnya, pada Jumat (02/06/2023).
Hetti juga mengtakan bahwa orang tua juga harus peka dengan mengenali pola perubahan tidur sang anak, selain itu juga kenali penurunan minat anak terhadap hobinya. “Misalnya biasanya pergi bermain olahraga dengan teman sekarang tidak atau belakangan banyak PR sekolah atau tugas yang sulit dan remaja merasa tidak mampu mencari bantuan penyelesaiannya,” ucap Dosen Fakultas Psikologi UM itu.
Selain itu, adanya stigma negatif bunuh diri yang tabu dibicarakan membuat remaja semakin tertutup untuk bicara, padahal dengan adanya teman atau sosok yang dia bisa curhat akan mengurangi potensi risiko bunuh diri.
Faktor risiko bunuh diri pada remaja usia 10-24 tahun banyak dipicu oleh isu depresi dan kesehatan mental sebelumnya. Kejadian yang tidak mulus, perintang hidup, dan kemalangan dapat dinilai sebagai situasi yang negatif dan menekan rasa frustrasi remaja.
“Bila individu punya pola pikir depresif sebelumnya, maka ia merasa sendirian, tak berdaya, cemas, dan khawatir berkepanjangan tentang dirinya, maka penilaian akan peristiwa menjadi negatif dan seolah dunia berakhir. Sehingga ide mengakhiri hidup menjadi terakhir. Ini pola pikir yang keliru,” tambahnya.
2. Pendampingan orang tua/guru dalam memandang realita hidup
Langkah kedua ini dipandang perlu dan sepatutnya orang tua memberikan pandangan tentang semua tekanan dalam peristiwa kehidupan perlu dihadapi secara optimistis.
“Latihan awalnya adalah berdialog dari hati ke hati, pastikan remaja memiliki ruang dan tempat nyaman di keluarga atau sekolahnya untuk mengungkapkan dirinya,” ucapnya.
Seorang anak remaja itu ingin sekali didengarkan dan diakui dirinya, sehingga setelah merasa diterima maka tugas orang tua adalah memberikan pengenalan tentang situasi atau peristiwa dengan lebih proporsional.
Dengan begitu, menurut Hetti, seorang remaja akan belajar mengambil sudut pandang positif dan tentunya lebih rasional dan realistis dalam menyikapi peristiwa negatif.
3. Belajar afirmasi positif
Untuk langkah ketiga ini, Hetti menyatakan bahwa pendampingan remaja untuk belajar afirmasi positif sangatlah diperlukan. Karena dorongan diri melalui kalimat positif dan motivasi bisa menolong para remaja yang tentunya memiliki masalah.
“Afirmasi positif misalnya menulis di jurnal harian atau diary tentang pengalaman dan ekspresi perasaannya disertai penilaian atas peristiwa atau reframing positif agar cara pandang yang optimis menjadi pencegah rasa depresifnya,” ungkap Hetti.
Dr Hetti memberikan contoh simulasi ilustrasi afirmasi positifnya
“Contoh dari lintasan pikiran negatif pada seorang remaja semula seperti ‘Aku ga berguna, bodoh dan percuma berusaha pasti gagal dapat nilai A’. Maka orang tua dalam memvalidasi kesedihan anak dengan cara misalnya menanggapinya: ‘Ibu/bapak tahu kamu kurang puas dengan nilaimu saat ini, tapi kamu sudah berusaha belajar sendiri sebelumnya, sisi baiknya kita bisa mencobanya lagi dengan cara berbeda, tidak ada salahnya mencoba belajar bersama tutor,’ beber Hetti.
Setelah itu, anak atau remaja diajak menyusun sendiri self-talk lewat afirmasi positif seperti “Aku ingin dapat nilai A, maka aku siap belajar giat lagi didampingi tutor”. “Ayo bersemangatlah diriku”.
Dengan kalimat afirmasi positif itu, maka seorang remaja atau individu tersebut, sudah cukup mampu mengambil tindakan secara positif.
“Jadi bimbing, lalu dampingi remaja dengan pilihan-pilihan tindakan kecil yang bermakna, tak hanya sekedar ceramah atau himbauan,” pungkasnya.