MALANG, Tugujatim.id – Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali itulah nasib yang dialami Dian Patria, perempuan cantik asal Pakisaji, Kabupaten Malang, ini yang diduga terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) buntut tagih utang di Facebook. Perempuan cantik asal Pakisaji Malang ini kini dituntut 2,5 tahun penjara.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Juni Ratnasari yang menangani kasus perempuan cantik asal Pakisaji Malang ini mengatakan, tuntutannya sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
“Tuntutan kami sebetulnya tidak lepas dari undang-undang. Maksimalnya empat tahun. Kalau seandainya kami menuntut 2,5 tahun itu lebih ringan,” ujar Juni usai sidang pembacaan pledoi oleh terdakwa pada Selasa (14/02/2023).
Dia mengatakan, perbuatan terdakwa menimbulkan dampak sosial bagi korban, DP, hingga membuat bisnisnya bangkrut. Untuk diketahui, DP merupakan istri dari BP, orang yang memiliki utang sebesar Rp25 juta kepada Dian.
Diberitakan sebelumnya, Dian Patria, warga Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang menagih utang di Facebook milik DP. Tapi, dia justru terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terdakwa menagih utang senilai Rp 25 juta di kolom komentar unggahan Facebook milik DP. Korban kemudian melaporkan terdakwa ke Polres Pasuruan atas tuduhan penghinaan/pencemaran nama baik.
“Akibat dari postingan itu, banyak yang berkomentar terhadap korban. Akhirnya dia (korban) usahanya bangkrut karena tidak dipercaya karena dianggap benar-benar sebagai penipu. Padahal, kalau dikatakan sebagai penipu seharusnya kan sesuai dengan hasil putusan pengadilan,” tutur Juni.
Selain itu, komentar dari terdakwa di Facebook juga disebut menyebabkan orang tua korban kepikiran, sakit, hingga meninggal dunia.
“Pemberatannya adalah memang pada saat pemeriksaan korban, dampak sosial sangat besar bagi korban,” kata Juni.
Dia mengatakan, doal pelaporan ke Polres Pasuruan walaupun kasusnya terjadi di Kabupaten Malang, Juni membenarkan hal tersebut. Namun, menurut dia, kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Polres Malang atau locus delicti.
“Kebetulan saksi-saksi banyak di Kabupaten Malang. Terdakwa juga ada di sini,” imbuh Juni.
Soal masa kedaluwarsa kasus, Juni menilai kasus ini masih belum kedaluwarsa karena dilaporkan satu bulan setelah peristiwa terjadi.
“Kebetulan tadi disampaikan bahwa tindak pidana itu dilakukan pada 7 November 2020. Kemudian korban melaporkannya pada 19 Desember 2020. Jadi itu masih tenggat waktu satu bulan,” ujar Juni.
Hal ini bertentangan dengan keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada 2019 atau satu tahun sebelum laporan dibuat.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa M. Sholeh mengatakan, kliennya menulis komentar pada 7 November 2019. Namun, korban baru melapor pada 7 November 2020.
“Artinya, sudah satu tahun. Karena itu, mestinya kasus ini sudah gugur,” ujar Sholeh.
Ini merupakan keberatan atau eksepsi yang disampaikan terdakwa di awal proses persidangan dan dia sampaikan kembali di pembacaan pledoi.
“Sebelum pakai pengacara, Dian mengajukan eksepsi itu (kasus kedaluwarsa), tapi tetap (persidangan) terus berjalan,” kata Sholeh.
Untuk tuduhan pencemaran nama baik, Sholeh mengatakan, ada surat keputusan bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI Jaksa Agung dan Kapolri yang menyatakan bahwa pencemaran tidak berlaku apabila sesuai dengan fakta.
Fakta di sini, menurut Sholeh, adalah BP, suami dari korban berutang pada terdakwa sebesar Rp25 juta dan belum dikembalikan. Ini menyebabkan terdakwa jengkel dan terbawa emosi saat menulis komentar.
“Intinya, Dian mengungkapkan emosi. Uang miliknya Rp25 juta dibawa oleh BP. Dan BP sudah membuat surat pernyataan bahwa dia punya utang dan akan mengembalikan. Tapi ditagih-tagih, tidak mau (membayar),” kata Sholeh.