MALANG, Tugujatim.id – “Prit… prit… prit…, berlindung, berlindung, berlindung,” suara instruksi yang terdengar nyaring di Hotel Pelangi Kota Malang, Selasa pagi (29/08/2023). Gempa seolah-olah menerjang gedung Hotel Pelangi hingga membuat semua orang tiba-tiba menjadi riuh dan bergemuruh untuk berlindung dan menyelamatkan diri dalam adegan simulasi bencana yang digelar BPBD Kota Malang.
Setelah berlindung dan selamat, semua orang yang berada di Hotel Pelangi pun merasa lega dan bertepuk tangan karena berhasil memahami materi yang disampaikan dalam acara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang Tahun Anggaran 2023 dengan tema Sosialisasi dan Simulasi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Acara sosialisasi ini melibatkan 32 peserta dengan memakai dress code warna serba bernuansa dominan oranye dan hitam. Mereka berasal dari para guru di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) hingga para difabel dari komunitas Difabel Creative Community (DC2).
Tidak tanggung-tanggung, BPBD Kota Malang juga menghadirkan dua narasumber andal untuk mengedukasi para difabel. Yaitu Ketua Dirgantara Rescue Jawa Timur Endi Suhadi SPd MPd dan Ketua Pusat dan Mentor Survival Skills Indonesia (SSI) Rachmad Subekti Kimiawan.
BPBD Kota Malang memang sengaja menggelar pelatihan untuk memotivasi agar terbentuknya kemandirian, mampu berpartisipasi, hingga menjadikan masyarakat tangguh, termasuk kelompok rentan seperti difabel dalam menghadapi bencana. Prinsipnya, mereka ingin mengedukasi difabel dari ancaman bencana.
Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Kota Malang Drs Prayitno MAP mengatakan, sosialisasi dan simulasi ini sangat penting untuk dilakukan, apalagi untuk para difabel yang memiliki kondisi yang terbatas ketika menghadapi bencana.
“Sudah kewajiban kami mengedukasi difabel dalam menghadapi bencana. Mereka harus dilindungi dengan mengedukasi terkait kebencanaan,” ujarnya saat memberikan sambutan.
Selain itu, dia juga mengimbau para peserta sosialisasi untuk memakai beragam media sosial (medsos) untuk menyebarkan informasi dalam mengantisipasi bencana karena akan cepat tersebar luas. Menurut dia, medsos menjadi salah satu media saat ini yang efektif untuk menularkan ilmu dalam mengantisipasi dan siap siaga saat terjadi bencana.
“Bayangkan, berapa banyak penduduk Kota Malang. Jika kami memberikan sosialisasi satu per satu, tidak akan cepat terselesaikan dalam mengedukasi. Tapi, jika memakai medsos maka akan cepat tersebar luas informasinya dan lebih efektif,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dirgantara Rescue Jawa Timur Endi Suhadi SPd MPd dalam pemaparan materinya menjelaskan ada kelompok-kelompok rentan bencana. Mulai dari balita, manula, ibu hamil, hingga termasuk kelompok difabel.
“Nah, difabel ini juga harus diedukasi bagaimana dalam menghadapi bencana. Misalnya menghadapi gempa. Mereka tetap harus bisa secara mandiri melindungi diri semampunya sebelum ada evakuasi dari petugas,” ujar pria kelahiran Malang, 8 Juni 1974 ini.
Karena itu, dia mengimbau bagaimana cara difabel maupun masyarakat melindungi diri ketika terjadi bencana gempa dengan empat langkah. Yaitu, kalau ada gempa lindung kepala, masuk kolong meja, hindari kaca-kaca, dan setelah gempa reda keluar ruang terbuka.
“Pokoknya ketika terjadi gempa, jangan panik. Langsung melindungi kepala, kemudian berlindung di bawah meja asal bukan berbahan kaca. Tapi, juga bisa gerak cepat dengan berlindung ke pojok-pojok rumah yang dipercaya bangunannya lebih kuat. Nah, setelah gempanya reda segera keluar ruangan atau menunggu evakuasi dari petugas,” jelasnya dengan gayeng memberi tips kepada para peserta sosialisasi.
Dia juga mengatakan sebenarnya bencana itu bisa dicegah sebelum terjadi. Dia mencontohkan bencana angin puting beliung bisa dicegah dengan menanam banyak pohon besar dan banjir dapat dicegah dengan tidak membangun banyak ruko.
Tapi jika bencana itu sudah terjadi, dia mengatakan, tidak bisa ditanggung sendirian alias harus ada kerja sama pentahelix.
“Harus kerja sama dalam menanggulangi bencana. Mulai dari pemerintah, masyarakat, pengusaha, media, dan lain-lainnya,” tutupnya.
Materi kedua disampaikan Ketua Pusat dan Mentor Survival Skills Indonesia (SSI) Rachmad Subekti Kimiawan. Dia menjelaskan Provinsi Jawa Timur adalah daerah yang rawan akan bencana, di mana titik merah menjadi tanda bencana menyebar karena dikelilingi tujuh gunung yang masih aktif.
Untuk penanganan bencana, termasuk di sekolah, dia menyarankan untuk memakai alat pengingat. Nah, dia melanjutkan, apalagi untuk kelompok difabel membutuhkan seperti bel maupun lampu untuk rambu-rambu tanda bahaya.
“Di sekolah, sediakan alat untuk memberi tanda bahaya sesuai kesepakatan. Kalau bisa hindari alat yang memakai listrik karena kadang bencana datang akan mati. Jadi, misal bisa dengan memakai peluit atau besi dipukul sebagai tanda bahaya,” ujar pria kelahiran Surabaya, 22 Januari 1970 itu.
Usai sosialisasi, Kepala YPAC Malang Antonius Mayendra Dau Keraf berterima kasih kepada BPBD Kota Malang karena memberikan ilmu baru dan masukan-masukan yang dapat diaplikasikan di sekolahnya. Mulai dari cara menentukan rute evakuasi dalam sekolah yang aman, model pintu sekolah yang ideal untuk lebih efektifnya jalur evakuasi, hingga mengajarkan murid-muridnya sirene dan isyarat lampu untuk membantu memberi tanda bahaya di sekolah. Dia berharap ada kelanjutan dari program ini.
“Kami bisa menerapkan ilmu yang sudah diberikan oleh BPBD Kota Malang hari ini. Hal itu untuk memudahkan kami memberikan tanda bahaya kepada para murid difabel di sekolah,” katanya.
Dia pun mengapresiasi acara sosialisasi ini yang dinilai bagus, apalagi sangat mengedukasi untuk murid-murid difabelnya.
“Untuk acara seperti ini, saya sangat mengapresiasi. Saya harap ada tindak lanjut lagi. Nanti bisa langsung simulasi ke sekolah agar tahu keadaan yang sebenarnya dengan praktik langsung. Misalkan cuma diberi materi saja, saya rasa kurang teraplikasikan. Namun, acara ini sudah sangat membantu sekali,” katanya.
Dia juga mengatakan ingin sekolahnya juga terbiasa dengan melakukan simulasi seperti yang dilakukan sekolah lain agar siaga bencana.
“Ya agar anak-anak benar-benar siap secara mental dalam menghadapi bencana dengan pengetahuan yang dimiliki dengan terbiasa melakukan simulasi ketika beneran terjadi,” ujarnya.
Menurut alumnus Jurusan Pendidikan Luar Biasa UM ini, pihak sekolahnya memerlukan simulasi secara langsung ke depannya karena situasi dan kondisi yang berbeda saat penyampaian materi dengan penerapan langsung di lapangan.
“Banyak manfaat yang saya bawa pulang untuk diaplikasikan di sekolah kami di SLB Kota Malang. Namun mungkin karena ada sedikit perbedaan situasi dan kondisi di lapangan tentunya ketika kita melakukan simulasi di sini dan melakukan simulasi di sekolah langsung (real), akan terasa beda. Apalagi dengan keadaan dan kemampuan fisik anak-anak binaan kami mungkin tentu nantinya akan ada tantangan dan juga modifikasi tertentu terkait pelaksanaan sosialisasi dan simulasinya,” ujar pria ramah ini.
Dari unsur komunitas, Ketua Difabel Creative Community (DC2) Sutarno mengatakan, sosialisasi ini sudah mengedukasi difabel dalam penanganan bencana. Tapi, dia berharap BPBD Kota Malang juga harus melakukan simulasi terhadap difabel secara langsung, tidak hanya teman-teman di sekolah saja.
“Difabel juga membutuhkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menghadapi bencana yang datang. Kelompok difabel termasuk dalam orang yang rentan sehingga mereka harus tahu bagaimana cara untuk bisa sinkron dengan relawan saat penting seperti itu,” ujar pria yang bekerja sebagai desainer ini.
Para difabel, dia mengatakan, juga belum tahu secara praktik tentang apa yang harus dilakukan ketika ada bencana.
“Ketika ada bencana, ya seperti orang pada umumnya, keluar rumah kan kami juga masih belum tahu seperti apa yang seharusnya dilakukan. Kata orang-orang dulu kalau ada lindu segera cepat keluar rumah. Ya hanya sebatas itu kan ya. Tapi, setelah dapat sosialisasi ini jadi paham bagaimana cara mengatasi jika terjadi bencana. Ini ilmu yang sangat bermanfaat sekali,” jelasnya dengan ramah.
Sementara itu, salah satu peserta difabel bernama Sri Wahyuni, warga Polehan, Kota Malang, mengucapkan rasa terima kasihnya kepada BPBD Kota Malang karena sudah mengedukasi dia dan teman-temannya.
“Terima kasih banyak, saya jadi lebih tahu bagaimana kesigapan untuk menghadapi bencana dari simulasi yang dilakukan. Mulai dari melindungi kepala, berlindung di bawah meja atau kolong, hingga menjauhi kaca jika terjadi bencana. Saya harap ada simulasi lebih lengkap lagi contohnya bagi kelompok yang berkebutuhan khusus yang memakai kursi roda dan teman-teman kategori difabel lainnya. Ya, agar mereka tahu cara menghadapi bencana dengan sigap dan benar serta aman,” ujar ibu satu anak ini.
Writer: Sinta Amanda-Zidni Zidan Fasya Falik (Magang)
Editor: Dwi Lindawati